Sabtu, 26 November 2016

ANTARA REALITAS DAN IDEALITAS

Edit Posted by with No comments


ANTARA REALITAS DAN IDEALITAS

Dunia pendidikan di negeri ini selalu menyisakan berbagai hal yang ironis. Hal ini terjadi karena selama ini dunia pendidikan dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Bahkan, yang paling ironi lagi adalah adanya kenyataan menyakitkan bahwa dunia pendidikan sudah menjadi budaya permainan politik. Berbagai intervensi dan hegemoni politik terhadap dunia pendidikan selama ini terus berlangsung, dan bahkan dunia pendidikan menjadi komoditas politik yang keuntungannya tidak kembali kepada dunia pendidikan namun ke kantong kepentingan para elite politik.
Disadari atau tidak, semua pranata, semua komponen, semua struktur, semua pribadi itu lahir dari dunia pendidikan, pendidikan dalam arti luas yang telah menjadi prasyarat mutlak tereksistensinya sendi-sendi kehidupan. Kita semua seakan-akan munafik terhadap perjalanan kehidupan kita, eksistensi kita, apa yang kita raih sekarang ini, penghidupan yang telah menghidupkan kita dan segala hal yang telah mendidik kita menjadi orang yang hidup dan terdidik. Semua itu lahir dari pendidikan orang tua, sekolah, dan lingkungan di mana kita berdiri tegak sekarang ini.
Berbagai fenomena tersebut seolah menjadi cermin bagaimana akutnya penyakit budaya kehidupan kita terhadap dunia pendidikan. Dunia pendidikan dianggap sebagai dunia stagnan yang hanya mengurusi jenjang-jenjang dan kuantitas-kuantitas yang pada akhirnya bisa menjadi modal untuk mencari kehidupan dengan didasari pola pikir yang materialistis dan mekanis. Sungguh ironis, pendidikan hanya berfungsi sebagai mesin yang bergerak mekanis.
Akibatnya, dunia pendidikan sekarang ini menjadi dunia yang kaku dan hanya melahirkan robot-robot mekanis yang tidak berbudaya, bermoral dan hanya mementingkan nilai-nilai kuantitas belaka tanpa memperhatikan kualitas yang seharusnya paling dipentingkan untuk membentuk manusia cerdas lahir dan batin sehingga dapat membentuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju dan berperadaban.
Di sisi lain, budaya yang beredar di masyarakat kita bahwa profesi pendidik adalah profesi yang tidak menjanjikan dan bahkan menempati posisi sebagai profesi yang nomor sekian di bawah profesi-profesi lain. Bahkan hal itu sudah menjadi konvensi yang mengakar dalam pola pikir masyarakat kita.
Akibatnya, banyak orang yang menjadikan profesi guru sebagai profesi loncatan atau sebagai terminal terakhir setelah kegagalan dalam mencari profesi yang lain. Kalau sudah begini, apakah mungkin dunia pendidikan akan melahirkan manusia-manusia berkualitas dan bermoral serta berperadaban yang bisa membangun negeri ini menuju ke puncak kejayaannya, sedangkan para pendidiknya (guru) berangkat dari unsur keterpaksaan dan tidak berasal dari hati nuraninya untuk menjadi pendidikan? Bagaimana mungkin guru bisa megajarkan sesuatu yang benar secara nurani dan bermoral dari segi perilaku, sedangkan pola dan paradigma kehidupannya sudah tidak berangkat dari jalur yang benar? Dan bagaimana pula guru dapat secara totalitas menjalankan profesinya tersebut jika tidak diimbangi dengan kesejahteraan kehidupan guru itu sendiri?

Sayap-Sayap Pendidikan

Edit Posted by with No comments


Sayap-Sayap Pendidikan
Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.
Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka alami.
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah persentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.
Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam kebijaksanaan.
Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain?

Rahasia Belajar Filsafat Biar Gak Stres

Edit Posted by with No comments


Rahasia Belajar Filsafat Biar Gak Stres
 
Apa hal yang di dalam hidup ini tidak bernilai filosofis? Tidak ada. Lalu mengapa orang-orang ketika mendengar kata filsafat mukanya langsung mengkerut? Adakah yang salah ketika sesuatu hal dihubungkan dengan filsafat? Saya rasa tidak tepat menanggapi hal demikian dengan asumsi-asumsi yang salah tentang filsafat. Banyak yang bilang kalau belajar bisa buat orang jadi gila. Siapa yang bilang? Padahal belajar filsafat itu memang tidak gampang, oleh karenanya harus matang dalam berpikir dan bertindak.
 Bicara soal filsafat dengan cara yang umum akan menimbulkan kesalahpahaman. Ada orang yang terbiasa dengan logika umum, namun ada pula yang memang paham dengan logika yang khusus. Persoalan ketakutan belajar filsafat juga terpengaruh oleh adanya tuntutan ideologi yang dianut. Beberapa paham secara tegas menolak dan bahkan mengkafirkan hal-hal yang berbau filsafat. Meyedihkan rasanya apabila hal demikian menjadi keterbatasan orang mengenal induk dari pengetahun ini. Padahal kalau kita menyoroti kemajuan sebuah bangsa atau Negara di laur Indonesia, latar belakang maju dan kokohnya sebuah Negara besar tersebut tak lepas dari pengaruh filsafat yang mereka bangun. Lalu jika itu jadi hal penting, timbul pertanyaan, Indonesia tidak akan maju-maju dong? Ya bisa jadi, namun tidak memastikan itu juga akan terjadi. Tetapi paling tidak kita bisa melihat bahwa kemajuan barat itu pada dasarnya berporos pada filsafat. Dan kalau belajar sejarah filsafat barat, kita akan menemukan banyak dari mereka adalah promotor munculnya hal-hal baru seperti beberapa kemajuan yang bisa kita rasakan sekarang. Ketika saya mengenal filsafat, saya memang dibuat pusing tujuh keliling, terutama dengan istilah-istilah.
Tapi untungnya para dosen yang dihadirkan adalah orang-orang yang paham betul dunia filsafat, jadi bisa mengarahkan dengan penjelasan yang sederhana. Setelah dari sana, saya paham bahwa kebanyak orang belajar filsafat salah dalam memahami karena terjebak oleh istilah. Ini dia pelaku yang bersembunyi di balik keresahan orang belajar filsafat. Di kampus, saya didorong untuk belajar logika khusus agar bisa memahami pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh para filosof terdahulu. Dalam hal ini kami sebagai mahasiwa ditutut agar merujuk pada teks aslinya sehingga tidak tercampur oleh argumentasi orang lain. Kemudian setelah belajar logika, kami juga diajarkan untuk mengetahui sisi-sisi kelemahan pernyataan para filosof dengan melihat orang-orang yang melakukan kritikan terhadap filosof lainnya sehingga akan memuncul keterbukaan dan pemahaman baru terhadap yang mereka sampaikan. Dan terakhir adalah sebaiknya jika anda belajar filsafat, sangat disarankan unutk banyak bertanya kepada para ahli dalam bidangnya supaya tidak masuk dalam kesalahan berpikir. Lebih-lebih lagi kebingungan itu disampaikan kepada banyak orang, kan bisa berabe.
Berikut hal-hal mendasar untuk belajar filsafat; a.Pendekatan Historis dengan variasinya. Metode ini dipandangan sangat baik bagi pemula karena pembaca akan dituntun untuk mengenal pemikiran para filosf terdahulu. Selain itu pembaca akan tahu latar belakang secara kronologis terhadap sebuah pemikiran. Contoh pemanfaat pendekatan historis yang baik ialah Jostein Gaarder, Sophie's World. b.Pendekatan Metodologis. Cara ini dianggap penting karena apabila ingin memahami filsafat dengan cara berfilsafat pula. Dengan metode ini, beragam metode berfilsafat ditimbang-timbang, kemudian kalau ditemukan metode yang terbaik kemudian dipilih sebagai metode. Contoh pemakai pendekatan metodologis yang baik ialah Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy. c.Pendekatan Analitis dengan beragam variasinya. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat adalah menjelaskan unsur-unsur filsafat. Dalam hal ini, filsafat dijelaskan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya agar mudah dipahami. Contoh pengguna pendekatan analitis yang baik ialah Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy. d.Pendekatan Eksistensial Metode ini memandang bahwa untuk menjelaskan filsafat ialah dengan memperkenalkan jalan-hidup filosofis tanpa terbelenggu dengan sistematikanya. Dalam pendekatan ini, tema-teman pokok filsafat didalami agar pembaca dengan sendirinya memahami gambaran tentang filsafat. Contoh penerap pendekatan eksistensial yang baik ialah A.C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy. e.Pendekatan terpadu. Metode ini mensintesis berbagai pendekatan sekaligus dalam satu buku saja. Contoh pelaku pendekatan terpadu yang baik ialah Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy. Pada dasarnya metode-metode yang disebutkan di atas memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Tergantung metode mana yang dianggap lebih tepat, cocok dan sesuai dengan pembaca. Sekiranya tidak cocok dari kelima hal demikian, maka selanjutnya pembaca bisa belajar langsung pada yang ahli. Baru kemudian mengenali sekiranya mana metode yang tepat guna. Belajar filsafat salah besar apabila dikatakan bisa menjerumuskan seseorang pada jalan yang salah. Malah saya ingin mengatakan bahwa setelah belajar filsafat pikiran saya lebih terbuka. Saya bisa memahami satu sama lain di antara kehidupan kita ini. Perbedaan yang terjadi dalam filsafat itu bukan sebuah masalah, jadi tak hayal apabila orang-orang yang belajar filsafat dengan baik cendrung tidak gegabah dalam bertindak. Dan menurut saya apabila setiap orang dapat memahami filsafat, kekerasan dalam hal keyakinan dan ideologi tidak akan lagi menjadi permasalahan yang picik di negeri ini.


Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan

Edit Posted by with No comments


Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan
Secara alamiah, kita tahu, bahwa kita hidup di masa kini. Yang ada adalah masa kini. Masa lalu tidaklah sungguh ada, karena ia hanya sebentuk ingatan atas peristiwa yang tak lagi ada. Masa depan juga tidak sungguh ada, karena ia hanya terbentuk dari harapan dan bayangan semata. Jadi, jika dipikirkan secara tepat dan alamiah, yang ada hanyalah masa kini.
Namun, seringkali karena terbiasa, kita melihat masa lalu sebagai kenyataan. Kita mengingat apa yang telah lalu secara berlebihan, sehingga itu membuat kita cemas. Penyesalan dan kemarahan atas apa yang telah lalu pun muncul. Pada titik ini, kita lupa, bahwa kita memikirkan apa yang tidak ada. Kita pun akibatnya membuang-buang energi percuma, serta menciptakan penderitaan tanpa alasan untuk diri kita sendiri.
Kita juga terbiasa terbiasa berpikir tentang masa depan. Kita terpaku pada rencana dan ambisi. Kita mengira, bahwa rencana dan ambisi adalah sesuatu yang nyata. Kita pun lupa, bahwa keduanya tidaklah sungguh ada, melainkan hanya sekedar bayangan semata.
Jika yang ada adalah masa kini, maka waktu pun menjadi tidak relevan bukan? Pada titik ini, saya sepakat dengan konsep aku-waktu. Keduanya adalah satu. Makna waktu yang sejati amat tergantung pada cara berpikir yang kita gunakan dalam hidup.
Ketika kita memilih untuk dibebani masa lalu, maka masa kini akan lenyap, dan kita akan hidup sepenuhnya dalam penindasan masa lalu. Ketika kita memilih untuk dibebani oleh ambisi dan rencana masa depan, maka kita juga akan kehilangan masa kini, dan hidup dalam tegangan kecemasan terus menerus. Keduanya adalah cara berpikir yang menciptakan penderitaan, dan membuang banyak sekali energi. Namun, keduanya bisa dengan mudah dihindari.
Caranya adalah dengan menjadi alamiah. Secara alamiah, kita tahu, bahwa yang sungguh-sungguh nyata dan ada adalah masa kini. Jadi, mengapa sibuk memikirkan masa lalu dan masa depan? Lakukan apa yang terbaik disini dan saat ini, tanpa beban masa lalu, tanpa ambisi akan masa depan.
Inilah kebijaksanaan tertinggi. Ketika orang bisa mengakar pada masa kini dan sini, ia hidup dengan ketenangan batin yang dalam. Ia punya ingatan akan masa lalu, tetapi tidak dijajah olehnya. Ia punya harapan akan masa depan, tetapi tidak hidup di dalam bayang-bayangnya.
Waktu adalah aku. Aku adalah waktu. Keduanya sama dan tak terpisahkan. Pikiranku tak bisa terpisahkan dari waktu, dan waktu adalah persepsi dari pikiranku sendiri. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kondisi pikiranku?


Guru Untuk Mencerdaskan Bangsa

Edit Posted by with No comments


PROGRESIVITAS KUALITAS GURU DALAM UPAYA MENCERDASKAN BANGSA



 Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” adalah salah satu julukan yang dapat disematkan kepada sosok guru. Julukan ini mengisyaratkan bahwa betapa besar peran dan jasa yang dilakukan oleh guru selayaknya seorang pahlawan. Namun, penghargaan terhadap guru nyatanya tidaklah sebanding dengan besarnya jasa yang telah diberikan. Guru adalah sosok yang dengan tulus mencurahkan sebagian waktu yang dimilikinya untuk mengajar dan mendidik siswa, sementara dari sisi finansial yang didapatkan sangat jauh dari harapan. Gaji seorang guru rasanya terlalu jauh untuk mencapai kesejahteraan hidup layak sebagaimana profesi lainnya. Hal itulah kiranya menjadi salah satu yang melatarbelakangi mengapa guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Realitas yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi sebagian besar guru di Indonesia penuh dengan persoalan. Jika kita mau meneliti kehidupan para guru, akan ditemukan fakta bahwa sebagian besar guru telah “menyekolahkan”, atau menggadaikan SK-nya untuk meminjam uang di Bank. Hal ini diamini oleh Dr. Abdul Adhim selaku salah satu kepala bidang di kementerian Agama RI yang berkesempatan menyampaikan materi dalam workshop “Redesain Kurikulum STAIN Pekalongan” tanggal 21-23 Oktober 2013. Dia menyatakan bahwa rasanya tidak ditemukan ada PNS di Negeri ini (Indonesia) yang tidak menyekolahkan SK-nya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, tidak jarang, ada seorang guru yang ketika awal bulan bukannya senang, tetapi justru sedih karena gajinya nyaris habis dipotong untuk berbagai pinjaman. Awal bulan yang seharusnya menjadi saat suka cita karena akan menerima gaji, tidaklah dirasakannya.
Jika kondisi semacam ini masih terjadi, bagaimana seorang guru dapat mengajar dengan penuh totalitas sedangkan “asap dapur” tidak ada kepastian?. Secara logika tentunya terjadi sedikit kesulitan untuk mengajar dengan penuh totalitas ketika seorang guru harus bergelut dengan keterbatasan ekonomi. Ketika mengajar, guru tidak lagi berpikir dan mencurahkan segenap energinya karena masih ada masalah dengan asap dapurnya tidak mengepul dengan lancar, belum lagi anaknya harus membayar SPP, biaya listrik, air, dan kebutuhan lain yang antri untuk dipenuhi setiap bulannya. Maka dari itu, sebagaimana diberitakan, sebagian besar guru harus mencari tambahan penghasilan lain di luar tugasnya mengajar. Ada yang harus mengajar di berbagai sekolah dari pagi sampai malam. Ada yang menjadi tukang ojek, tukang becak, buruh tani, bahkan yang ironis ada yang menjadi pemulung.
Kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru memang masih kurang memperoleh perhatian optimal dari pemerintah. Hal ini tercermin dari politik anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk guru dalam setiap tahun yang masih jauh dari angka layak, apalagi ideal. Kesejahteraan guru memang sangat dipengaruhi oleh kondisi moneter Indonesia yang belum stabil. Akibatnya, target 20 persen anggaran negara untuk pendidikan belum bisa terpenuhi. Selain itu, program sertifikasi guru yang dicetuskan untuk meningkatkan profesionalitas dan mendongkrak kesejahteraan pendidik juga belum terbukti secara merata (Ngainun Naim, 2009:3).
Apapun yang terjadi, itulah potret sebagian dari guru di Indonesia. Di tengah himpitan hidup yang kian sesak, dan kebutuhan hidup yang terus membumbung tinggi, mereka harus menjalankan tugas mulia dan berat, yaitu harus mencerdasakan para siswanya. Pada saat mereka berjuang mencerdaskan para siswanya, belum tentu anaknya sendiri mampu mengenyam pendidikan secara layak. Banyak anak guru yang tidak dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat sarjana. Bukan rahasia lagi bahwa kebutuhan biaya kuliah sekarang ini melangit. Apalagi pada jurusan-jurusan tertentu, biayanya hampir pasti tidak dapat dijangkau oleh gaji guru. Jika seorang guru memiliki tiga anak yang harus kuliah, paling tidak dia harus menyiapkan uang sekitar 2,5 juta per bulannya. Mengandalkan dari gaji guru saja tentu tidak cukup untuk biaya sebanyak itu. Oleh karenanya, kuliah di lembaga pendidikan berkualitas bagi anak guru tampaknya hanya akan menjadi cita-cita saja jika tidak ada faktor-faktor lain yang mendukung terhadap pembiayaannya. Misalnya, selain sebagai guru, ada tambahan pendapatan lain yang mendukung.
Mengingat begitu besarnya peran guru seyogianya diimbangi dengan penghargaan yang diberikan kepadanya. Walaupun kenyataannya menunjukkan bahwa secara finansial profesi guru belumlah mampu mengantarkan kepada kehidupan yang sejahtera. Namun demikian, bukan berarti hal ini mengurangi penghargaan yang selayaknya diberikan. Bahkan di era sekarang sumber belajar telah berkembang dan melimpah sedemikian pesat, peran guru sebagai sumber belajar utama tidaklah dapat tergantikan. Bukan hal yang terlalu berlebihan jika guru harus dihormati. Bahkan, Imam al-Ghazali pun menulis dalam kitabnya Ayyuha al-Walad dengan penuh empatik tentang guru:
“Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya, dialah yang dinamakan orang besar di kolong langit ini. Dia itu ibarat matahari yang menyinari orang lain, dan menyinari dirinya sendiri. Ibarat minyak kasturi yang wanginya dapat dinikmati orang lain, dan ia sendiri pun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting. Maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini” (A. Mujab Mahalli, 1991:55)
 Oleh : Potret Guru: Realitas Adanya Kesenjangan