Dunia pendidikan di negeri
ini selalu menyisakan berbagai hal yang ironis. Hal ini terjadi karena selama
ini dunia pendidikan dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagaimana
mestinya. Bahkan, yang paling ironi lagi adalah adanya kenyataan menyakitkan
bahwa dunia pendidikan sudah menjadi budaya permainan politik. Berbagai
intervensi dan hegemoni politik terhadap dunia pendidikan selama ini terus
berlangsung, dan bahkan dunia pendidikan menjadi komoditas politik yang
keuntungannya tidak kembali kepada dunia pendidikan namun ke kantong
kepentingan para elite politik.
Disadari atau tidak, semua
pranata, semua komponen, semua struktur, semua pribadi itu lahir dari dunia
pendidikan, pendidikan dalam arti luas yang telah menjadi prasyarat mutlak
tereksistensinya sendi-sendi kehidupan. Kita semua seakan-akan munafik terhadap
perjalanan kehidupan kita, eksistensi kita, apa yang kita raih sekarang ini,
penghidupan yang telah menghidupkan kita dan segala hal yang telah mendidik
kita menjadi orang yang hidup dan terdidik. Semua itu lahir dari pendidikan
orang tua, sekolah, dan lingkungan di mana kita berdiri tegak sekarang ini.
Berbagai fenomena tersebut
seolah menjadi cermin bagaimana akutnya penyakit budaya kehidupan kita terhadap
dunia pendidikan. Dunia pendidikan dianggap sebagai dunia stagnan yang hanya
mengurusi jenjang-jenjang dan kuantitas-kuantitas yang pada akhirnya bisa
menjadi modal untuk mencari kehidupan dengan didasari pola pikir yang
materialistis dan mekanis. Sungguh ironis, pendidikan hanya berfungsi sebagai
mesin yang bergerak mekanis.
Akibatnya, dunia pendidikan
sekarang ini menjadi dunia yang kaku dan hanya melahirkan robot-robot mekanis
yang tidak berbudaya, bermoral dan hanya mementingkan nilai-nilai kuantitas
belaka tanpa memperhatikan kualitas yang seharusnya paling dipentingkan untuk
membentuk manusia cerdas lahir dan batin sehingga dapat membentuk kehidupan
berbangsa dan bernegara yang maju dan berperadaban.
Di sisi lain, budaya yang
beredar di masyarakat kita bahwa profesi pendidik adalah profesi yang tidak
menjanjikan dan bahkan menempati posisi sebagai profesi yang nomor sekian di
bawah profesi-profesi lain. Bahkan hal itu sudah menjadi konvensi yang mengakar
dalam pola pikir masyarakat kita.
Akibatnya, banyak orang yang
menjadikan profesi guru sebagai profesi loncatan atau sebagai terminal terakhir
setelah kegagalan dalam mencari profesi yang lain. Kalau sudah begini, apakah
mungkin dunia pendidikan akan melahirkan manusia-manusia berkualitas dan bermoral
serta berperadaban yang bisa membangun negeri ini menuju ke puncak kejayaannya,
sedangkan para pendidiknya (guru) berangkat dari unsur keterpaksaan dan tidak
berasal dari hati nuraninya untuk menjadi pendidikan? Bagaimana mungkin guru
bisa megajarkan sesuatu yang benar secara nurani dan bermoral dari segi
perilaku, sedangkan pola dan paradigma kehidupannya sudah tidak berangkat dari
jalur yang benar? Dan bagaimana pula guru dapat secara totalitas menjalankan
profesinya tersebut jika tidak diimbangi dengan kesejahteraan kehidupan guru
itu sendiri?