Kedewasaan
Beragama dan Perdamaian Dunia
Agama lahir
dan berkembang sebagai bagian dari peradaban manusia. Ia lahir dari rasa kagum
sekaligus gentar manusia terhadap segala yang ada, yakni alam dan seisinya.
Agama
memberikan makna terhadap hidup manusia. Ketika krisis melanda, agama memberikan
arah dan penguat harapan.
Sayangnya,
agama kini banyak menjadi permainan kekuasaan. Ajaran dan tradisi religius
digunakan untuk mengabdi pada kepentingan politik dan ekonomi yang tidak sehat.
Akibatnya,
agama kini justru menjadi alat pemecah. Ia menjadi ideologi yang keras dan
jahat terhadap hal-hal yang berbeda dari dirinya.
Padahal,
Hank Kueng, pemikir Jerman, pernah menegaskan, bahwa perdamaian dunia hanya
mungkin terjadi, jika ada perdamaian antar agama. Ketika agama menjadi pemecah,
maka perdamaian dunia tidak akan pernah terwujud.
Tentu saja,
ada hal-hal yang bisa dilakukan, supaya itu tidak terjadi. Ada empat hal yang
kiranya bisa dilakukan.
Empat
Langkah
Pertama, setiap
agama di dunia harus mengembangkan ilmu tafsir historis kritis di dalam
memahami dan menerapkan ajarannya. Tafsir historis kritis berarti mampu
memahami teks dan ajaran agama sesuai dengan konteks ajaran dan teks itu
dibuat, lalu disesuaikan secara kritis dengan keadaan di masa kini yang telah
banyak berubah.
Sebuah teks
dan ajaran lahir dari keadaan jaman tertentu. Ia tidak bisa diterapkan begitu
saja secara harafiah ke jaman sekarang.
Maka dari
itu, tafsir historis kritis amat penting untuk diterapkan. Penyesuaian dengan
keadaan jaman adalah kunci, supaya agama tidak gampang digunakan membenarkan
kepentingan ekonomi dan politik licik.
Untuk bisa
menafsir, orang perlu menggunakan akal sehat dan pikiran kritisnya. Maka dari
itu, agama juga perlu mengajarkan pemeluknya cara-cara untuk mengembangkan akal
sehat dan berpikir kritis.
Dua, setiap
agama juga perlu memahami dan mengembangkan ajaran sosialnya masing-masing.
Ajaran sosial agama selalu merupakan penerapan ajaran-ajaran luhur agama ke
dalam konteks hidup bersama.
Ia berisi
nilai-nilai yang mendorong orang untuk keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Ia
perlu dirawat, dikembangkan, disebarkan dan diterapkan di dalam hidup
sehari-hari orang beragama.
Tiga, setiap
agama perlu kembali ke akar mistiknya, yakni akar pengalaman persentuhan dengan
“yang transenden”, yang biasa disebut sebagai Tuhan. Ketika masuk ke dalam
pengalaman ini, orang menyatu dengan segala sesuatu.
Ia tidak
melihat lagi orang ataupun mahluk lain sebagai pihak asing, apalagi sebagai
musuh. Cinta dan kedamaian yang sejati secara alamiah muncul di dalam hati dan
tindakannya.
Untuk bisa
masuk ke akar mistik ini, orang perlu untuk sungguh mendalami agamanya. Jika
hanya terjebak pada permukaan, orang kerap kali jatuh pada salah paham yang
mengantarkan pada banyak masalah.
Empat, setiap
agama juga harus mulai membenahi tata kelola organisasinya. Bagaimanapun, agama
adalah sebuah organisasi yang membutuhkan tata kelola yang tepat.
Jika tidak,
maka agama bisa berubah menjadi organisasi yang penuh dengan korupsi, kolusi
dan nepotisme. Yang terjadi kemudian adalah agama justru menjadi alat pemecah
belah yang merugikan banyak pihak.
Empat
langkah ini juga mengajak orang untuk dewasa di dalam beragama.
Kedewasaan
Sementara
bangsa lain sudah berusaha mencari sumber energi alternatif, mengembangkan
industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta mencari kemungkinan
adanya tempat tinggal di planet lain, bangsa kita masih diskusi soal
boleh-tidak boleh, suci-tidak suci dan berbagai hal remeh lainnya. Sementara
kita sibuk berbicara tentang hal-hal remeh, kehidupan ekonomi, politik dan
budaya kita dijajah oleh bangsa-bangsa lain.
Akibatnya,
kesenjangan sosial makin tinggi, dan kemiskinan tetap merajalela di Indonesia.
Kita pun menjadi bangsa terbelakang yang (mengaku) religius.
Jelaslah,
agama di Indonesia masihlah agama untuk anak kecil. Anak kecil perlu diatur.
Jika tidak
diatur, ia akan merusak dirinya sendiri, dan orang sekitarnya. Anak kecil suka
merengek, jika keinginannya tak dituruti. Anak kecil belum bisa diberikan
kebebasan beserta tanggung jawab yang mengikutinya.
Di
Indonesia, agama juga masih sekedar hiasan saja. Agama dipakai untuk tampil
baik dan soleh di hadapan umum, walaupun perilaku dan cara berpikir aslinya
amatlah bejat dan korup.
Tak heran,
para koruptor tiba-tiba terlihat mengenakan pakaian agamis, ketika menjalani
sidang tindak pidana korupsi. Tak heran pula, para pencuri uang rakyat rajin
menyumbang ke rumah-rumah ibadah, guna menutupi kebejatan sikapnya yang
sesungguhnya.
Hakekat
Agama
Jelaslah,
bahwa ini tidak boleh berlangsung terus. Agama di Indonesia harus dikembalikan
ke peran asalinya.
Ia tidak
boleh digunakan untuk kepentingan memperbodoh rakyat umum. Ia juga tidak boleh
dipelintir untuk berbagai kepentingan busuk lainnya, termasuk kepentingan nafsu
birahi yang tak terkontrol.
Sejatinya,
setiap agama selalu lahir dari persentuhan dengan Yang Transenden. Ia memiliki
banyak nama, seperti Tuhan, Yahwe, Allah, Dewa dan sebagainya.
Nama
tidaklah penting. Yang penting adalah, bahwa persentuhan itu mengubah orang menjadi
lebih penuh kasih, bijaksana dan bebas.
Agama lalu
menawarkan jalan bagi hidup manusia menuju perdamaian. Perdamaian itu lahir
dari hati yang penuh kasih yang kemudian tampak di dalam hidup sehari-hari.
Agama juga
menawarkan pencerahan batin yang mendalam. Orang lepas dari kebodohan, dan
masuk ke dalam pengetahuan yang sejati tentang kehidupan sebagaimana adanya.
Agama lalu
menjadi penerang bagi hidup manusia. Agama ada untuk membantu manusia mengenali
segala yang ada, dan menjadi penuh welas asih.
Agama tidak
boleh menjadi tujuan pada dirinya sendiri, apalagi dengan mengorbankan
kepentingan dan kehidupan manusia. Agama yang sibuk dengan dirinya sendiri
adalah agama yang sakit.
Agama untuk
Orang Dewasa
Dengan
mengembalikan agama ke peran asalinya, maka kita bisa menjadi dewasa di dalam
beragama. Agama untuk orang dewasa adalah agama yang membebaskan.
Ia
membebaskan orang dari penderitaan dan kebodohan. Berikutnya, ia memberikan
kesehatan batin, dan berarti juga kesehatan badan, bagi pemeluknya.
Agama untuk
orang dewasa tidak membelenggu orang dengan aturan-aturan yang bertentangan
dengan kemanusiaan dan akal sehat. Agama tersebut bisa ditafsirkan secara terus
menerus, sesuai dengan perubahan jaman.
Agama
tersebut memelihara dan mengembangkan kehidupan di dalam segala bentuknya.
Agama untuk orang dewasa tidak memenjara orang di dalam cara berpikir yang
terbelakang.
Sebaliknya,
agama untuk orang dewasa mengajak orang untuk berpikir secara mandiri. Orang
juga diajak untuk mendengarkan hati nuraninya secara jernih dan rasional.
Agama untuk
orang dewasa tidak sibuk memuntahkan aturan-aturan yang menghina akal budi
seseorang. Ia bukanlah tiran yang mengambil keuntungan dari ketakutan dan
kebodohan manusia.
Tidak
Gampang Dipelintir
Agama untuk
orang dewasa mengajarkan, bahwa kita semua, sejatinya, adalah satu. Warna
kulit, ras, bahasa, jenis kelamin, dan orientasi seksual boleh berbeda.
Namun, itu
semua hanya permukaan belaka. Inti diri kita, dan semua mahluk di alam semesta
ini, adalah satu dan sama.
Agama untuk
orang dewasa tidak mudah dipelintir untuk kepentingan memecah belah. Ia tidak
memisahkan orang berdasarkan warna kulit, ras, jenis kelamin dan orientasi
seksual.
Ia tidak
bisa dipakai untuk membenarkan penindasan pada manusia lain, ataupun pada alam.
Ia kebal dari permainan politik, ekonomi ataupun pembodohan publik.
Ketika ada
upaya untuk memelintir agama demi mencapai kepentingan-kepentingan rakus dan
busuk, sikap kritis otomatis akan muncul. Orang akan mengajukan pertanyaan,
berdebat dan bahkan berdemonstrasi di jalan, demi meluruskan kembali agamanya
ke jalan yang luhur.
Sayangnya,
ini belum terjadi di Indonesia. Berulang kali, agama digunakan sebagai
kendaraan politik untuk memenuhi kerakusan manusia belaka.
Namun, kita
hanya terdiam menyaksikan. Bahkan, kita ikut bermain di dalamnya, dan
memperoleh keuntungan darinya.
Akibatnya,
agama semakin terpuruk di dalam permainan politik dan ekonomi yang penuh
kebusukan. Jika sudah begitu, kita semua yang rugi. Kita terjatuh ke dalam
kemunafikan.
Melampaui Kemunafikan
Ada dua
pandangan tentang kaitan antara agama dan kemunafikan. Di satu sisi, orang
bodoh dan munafik memeluk agama tertentu, sehingga agama tersebut membenarkan
kemunafikan dan kebodohannya.
Inilah cikal
bakal segala bentuk kemunafikan dan kebodohan atas nama agama yang banyak kita
lihat sehari-hari, mulai dari pembenaran atas kekerasan, nafsu birahi, sampai
dengan kerakusan atas harta dan kuasa yang dibalut dengan ayat-ayat suci.
Di sisi
lain, agama itu sendiri sudah selalu mengandung kemunafikan di dalamnya. Dengan
kata lain, jauh di jantung agama-agama, ada hal yang membuat orang biasa
menjadi munafik dan bodoh.
Pandangan
kontroversial inilah yang perlu dipahami lebih dalam.
Ketidakmungkinan
Agama adalah
lembaga yang dibangun berdasarkan pada seperangkat nilai dan prinsip tertentu
yang, menurut keyakinan mereka, berasal dari Tuhan, atau entitas transenden
lainnya. Agama menawarkan arah kehidupan yang ideal pada pemeluknya.
Arah
kehidupan tersebut, juga menurut keyakinan mereka, akan menuntun orang ke
Surga, atau tempat indah lainnya di dalam bayangan mereka. Jika melanggar atau
melawan ajarannnya, maka neraka, atau tempat terkutuk lainnya, sudah siap
menanti.
Masalahnya,
prinsip dan nilai yang diajarkan agama tersebut tidak akan pernah terwujud di
dalam kehidupan. Bahkan, para pemuka agama tersebut pun yang, seringkali secara
tersembunyi, melanggarnya.
Ketidakmungkinan
dari prinsip dan nilai tersebut membuat banyak orang frustasi. Mereka selalu
merasa kurang, berdosa dan tak berdaya.
Ada orang yang
memilih untuk tetap merasa berdosa, dan kemudian menjadi semakin saleh menekuni
agamanya. Orang-orang semacam ini mudah sekali diperalat oleh para pemuka agama
untuk menjadi robot-robot patuh yang siap dihisap uangnya, atau diminta
menggendong bom bunuh diri, demi harapan surga setelah mati.
Ada orang
yang kemudian menyerah, dan kemudian memilih untuk menggunakan ajaran dan
prinsip moral agamis untuk membenarkan hal-hal bejat di hati dan perbuatannya.
Inilah orang-orang munafik yang berjubah dan fasih mengutip ayat suci, tetapi
penuh cela di hati dan kehidupan sehari-harinya. Kita banyak melihat orang
semacam ini di Indonesia.
Di hadapan
keluruhan prinsip dan ajaran agamis, yang tak akan pernah mungkin menjadi
kenyataan, orang jatuh ke dalam perasaan tak berdaya dan kemunafikan. Keduanya
adalah penderitaan, baik bagi orang yang mengalaminya, maupun orang-orang
sekitarnya.
Ini tentu
bukan merupakan keniscayaan. Ada jalan lain yang tentu bisa ditempuh.
Tegangan
Kreatif
Akar
kemunafikan adalah perbedaan yang begitu tajam antara kata dan tindakan.
Perbedaan ini tentu tidak selalu bermuara pada kemunafikan.
Ia bisa
menjadi tegangan kreatif untuk mendorong orang untuk menjadi manusia yang lebih
baik setiap harinya. Ia juga bisa membawa orang untuk berkembang keluar dari
kesempitan pikiran dan pertimbangannya.
Bagaimana
menumbuhkan tegangan kreatif ini, dan menjauhkan orang dari kemunafikan?
Caranya adalah dengan menumbuhkan sikap kritis di dalam hidup beragama.
Orang
terbiasa untuk berpikir, bertanya dan menganalisis sebelum menerima ajaran
apapun, termasuk ajaran agama. Orang menggunakan nalar dan akal sehatnya untuk
mempertimbangkan, ajaran apa yang akan dipeluknya.
Sayangnya,
sikap kritis pun juga kerap kali dianggap berbahaya oleh para pemuka agama. Banyak
agama hidup dan berkembang dari kebodohan dan kemunafikan pemeluknya.
Lembaga
agama memperoleh banyak uang dan pengaruh politik, persis karena pemeluknya
takut berpikir mandiri dan kritis. Yang dilestarikan kemudian adalah sikap
patuh yang berdasarkan pada kepercayaan buta belaka.
Alhasil,
orang dicabut dari keunikannya, dan dipaksa untuk menyatu dengan kerumunan.
Orang menjadi gerombolan yang bisa disetir untuk kepentingan politik, mengeruk
uang atau bahkan mengobarkan perang.
Pola semacam
ini jamak ditemukan di dalam sejarah agama-agama besar dunia. Di dalam agama
semacam ini, kemunafikan dan kekerasan adalah makanan sehari-hari.
Ajaran indah
agama hanya menjadi buih moral yang jauh dari tindakan nyata. Para pemuka agama
dan orang-orang yang mengaku saleh berkhotbah tentang pentingnya nilai-nilai
luhur.
Walaupun,
seringkali merekalah yang menjadi pelanggar utama dari nilai-nilai yang
dikoarkannya sendiri. Kemunafikan bagaikan polusi yang tersebar di udara,
walaupun orang kerap kali takut mengungkapkannya.
Sikap kritis
terhadap ajaran agama akan menuntun orang ke dalam spiritualitas, yakni cara
hidup spiritual yang tulus terungkap dari penghayatan batin, dan bukan dari
kepercayaan buta terhadap sekelompok orang berjubah. Spiritualitas selalu
bersifat revolusioner.
Ia mengubah
orang dari dalam. Ia mencela kemunafikan, sekaligus, pada saat yang sama,
bersikap lembut dan penuh cinta pada orang-orang munafik.
Perubahan
batin dari dalam ini akan mengantarkan orang pada kebijaksanaan dan welas asih.
Keduanya akan mengantarkan orang pada pemahaman mendalam tentang apa yang
terpenting di dalam hidup ini.
Yang
Terpenting
Lalu, apa
yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan uang. Saya bahkan
berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam hidup ini pun bukan hidup itu
sendiri.
Keluarga,
bahkan memahami “tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup
ini. Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, tetapi bukanlah yang
terpenting.
Yang
terpenting dalam hidup ini adalah memahami, siapa kita sebenarnya. Kita punya
tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari jati diri sejati kita sebagai
manusia.
Jika kita
bisa menyadari ini, maka kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang
sejati. Kita pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan
masyarakat kita.
Ini bukan
hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai belahan dunia juga
berpendapat yang sama.
Tradisi
Vedanta di India, filsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi
Sufisme di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di
Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah kita
sesungguhnya?
Pertanyaan
ini adalah pertanyaan terpenting di dalam hidup manusia.
Jati Diri
Sejati
Yang jelas,
kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang tua.
Itu bisa
diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. Semua itu bisa berubah.
Kita perlu
mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita berubah. Pikiran kita
pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri sejati kita sebagai manusia.
Jati diri
ini adalah kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun, kesadaran
bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita jelas bukanlah tubuh
kita.
Kesadaran
inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini. Kesadaran inilah yang
memungkinkan kita terus bernafas.
Ia adalah
sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan ketika
kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.
Kesadaran
Murni
Sayangnya,
kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, bahwa kita bukanlah
identitas sosial kita.
Kita
melupakan jati diri sejati kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk
melampaui kelupaan semacam ini, ada satu metode yang bisa digunakan, yakni
metode mencerap (perceiving method).
Sejak kita
lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. Kita merasakan segala
sesuatu secara langsung.
Kita tidak
menilai ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, karena kita memiliki
kesadaran murni di dalam diri kita.
Lalu, kita
belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga belajar di sekolah.
Kita juga
mulai belajar untuk melakukan analisis dan penilaian atas segala sesuatu.
Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, dan selalu menggunakan daya analisis
dan daya penilaian di dalam hidup kita.
Ketika ini
terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesadaran murni kita. Kita
terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis.
Kita menilai
segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan di
dalam hidup kita, karena terlalu banyak berpikir.
Analisis
jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian juga amat penting.
Namun,
keduanya bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah kesadaran murni kita.
Kesadaran
murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan daya penilaian kita.
Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, tetapi dapat dengan mudah dirasakan.
Kita hanya
perlu berhenti untuk menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala
yang ada dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
Ketika ini
dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan ketenangan, kebebasan
dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri.
Kita lalu
bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi dengan baik
sebagai manusia.
Melampaui
Kelekatan
Ketika kita
menyadari kembali kesadaran murni kita, segala kelekatan pun hilang. Kita tidak
lagi melekat pada harta, uang, jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu
sendiri. Kita menemukan kebebasan yang sejati.
Dengan kata
lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, jabatan dan bahkan hidup itu
sendiri. Kita bisa menggunakan itu semua sesuai fungsinya.
Kita juga
bisa menggunakan itu semua untuk membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia
mati untuk menyelamatkan orang lain.
Ketika kita
menyadari kembali kesadaran murni kita, kita menciptakan jarak dengan segala
hal. Kita tidak lagi terikat dengan identitas sosial maupun pikiran-pikiran
kita.
Kita lalu
sadar, bahwa itu semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini
menciptakan kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.
Dengan
kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat. Kita
mencerap dari saat ke saat.
Kita
menggunakan analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita
beristirahat di dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.
Jika setiap
orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, hidup bersama akan menjadi
mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber bagi konflik, melainkan sumber bagi
dialog.
Politik
menjadi efektif dan efisien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal
kenangan. Setelah itu, perdamaian dunia yang sesungguhnya bisa terwujud.
Perdamaian
Dunia
Perdamaian
dunia hanya bisa terjadi, jika ada perdamaian antar agama. Perdamaian antara
agama bisa terjadi, jika empat langkah diatas dipahami dan diterapkan.
Perdamaian
antar agama bisa terjadi, jika masing-masing agama bisa memberikan kedamaian
yang sejati kepada pemeluknya. Semua hal ini terhubung secara erat, dan dimulai
dari pembenahan di dalam diri agama-agama itu sendiri.
Kita
memasuki masa apa yang disebut Juergen Habermas, pemikir Jerman, sebagai masa
pasca sekularisme. Agama memiliki tempat baru untuk menanam dan menyebarkan
nilai-nilai luhur peradaban dalam dialog dengan agama-agama ataupun pandangan
dunia lainnya.
Jangan
sampai peran ini terlupakan, dan kita jatuh ke dalam perpecahan, akibat
kesempitan berpikir, ataupun pengaruh kepentingan-kepentingan politik ekonomi
sesaat. GKI berperan besar untuk mencegah itu semua.
0 komentar:
Posting Komentar