Rabu, 21 Desember 2016

Antara Berfikir dan Percaya (Sepenuhnya)

Edit Posted by with No comments
     ANTARA BERPIKIR DAN PERCAYA (SEPENUHNYA)

      Sebelum masuk pada studi filsafat, kita harus membersihkan pikiran kita dari pertanyaan: Apa sebenarnya yang saya harapkan dari filsafat? Pada satu sisi, ada banyak orang yang secara diam-diam takut, yang spontan menolak jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut. Mereka melihat filsafat itu sulit dinikmati – suatu saat mungkin mengasyikan, tetapi sangat kompleks, berbelit-belit, abstrak, dan tidak memiliki nilai praktis.

          Bagi orang-orang yang berpendapat seperti ini, metafisika dipandang kabur dan tidak berguna, hanya memusingkan kepala; spekulasinya yang tiada batas berlawanan dengan penemuan-penemuan sains modern; dan telah tersisih dengan terbitnya buku-buku dari para pemikir terakhir.

        Pada sisi lain, apa yang dibutuhkan adalah sesuatu yang di luar pemikiran kritis; sesuatu yang seharusnya disadari secara intuitif oleh orang waras sebagai Kebenaran (dengan K besar) tentang eksistensi manusia dan sifat kosmos; sesuatu yang masuk ke dalam dada dan menembus hati, yang oleh Baudelaire disebut sebagai “mata kail baja dari dunia yang terbatas”. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah filsafat yang akan menantang dan menuntaskan tugas yang pernah diperankan agama; dan kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi oleh satu mata kuliah pun tentang validitas inferensi (Zimmer, 2003:15).

       Kutipan di atas mencoba memperlihatkan dua model pemikiran, pertama, model pemikiran yang sepenuhnya menggunakan kekuatan akal dan kemampuan nalar, yang secara murni diterapkan berdasarkan sains-sains alam modern. Berfilsafat dimaknai hanya sebagai upaya menemukan dan menyusun informasi ilmiah atas pertanyaan mengenai hakikat atau azas mutlak alam semesta, manusia, dan Zat Tertinggi. Kedua, model pemikiran yang menggunakan kekuatan akal dan kemampuan nalar, yang dalam spekulasinya disempurnakan dalam kesadaran intuisi. Berfilsafat, di samping merupakan justifikasi argumentasi ilmiah, juga merupakan upaya memperoleh kesadaran mengenai sang diri terdalam manusia, kebenaran dan kebebasan.

         Filsafat pada prinsipnya sebagai pembantu penelitian empiris membuka tirai sains kontemporer; dan metafisika membuka kritik yang rasional dari setiap penjuru. Artinya, filsafat merupakan penalaran yang mutlak dibutuhkan, yakni filsafat adalah ide dan syarat bagi pemikiran praktis dan bukan terbatas hanya pada ide yang menggantung di langit awang-awang rasionalitas teoretis, sebagaimana dimaknai oleh sebagian dari para kretisi bahwa filsafat dan umumnya teori-teori hanya digunakan menghegemoni realitas. Dengan demikian filsafat hanya memperoleh posisi abstraknya, tanpa makna praktis, dan tidak perduli terhadap kehidupan manusia di bumi realitas yang sarat makna, penuh kontradiksi norma-norma, dan konflik nilai-nilai, yang sesungguhnya adalah bidang utama dari kajiannya. Belajar filsafat bukan terbatas hanya pada penguasaan berbagai pengetahuan filsafat (filosofistik), tetapi berikhtiar menemukan pemahaman yang jernih tentang sesuatu, “keinginan menjadi arif”. Belajar filsafat berarti belajar untuk berhasrat pada kearifan atau belajar untuk mencintai kearifan, kebijaksanaan.

         Untuk itu diperlukan kepandaian, upaya, dan kerja keras berdasarkan semangat, kekuatan, dan kemampuan akal, yang semata-mata dilakukan demi menaklukkan data-data empiris dalam kancah realistis dengan pertukaran pemikiran secara rasional. Dengannya, kearifan diraih, melalui pengambilan sikap terhadap suatu pendirian tertentu dalam kehidupan. Walaupun demikian, bukanlah akal semata-mata menjadi sarana utamanya, melainkan juga diperlukan penguatan dan peneguhan diri (buddhi) dalam suasana kesadaran penuh, kemampuan menjadikan diri sendiri sebagai subjek dan sekaligus objek dalam berlimpahnya nama dan bentuk.

          Dalam berfilsafat tidak ada seorangpun yang “telah tahu” atau telah menemukan kepastian kebenaran, karena filsafat dalam hal ini berarti “hasrat menemukan kebenaran”. Menemukan kebenaran mutlak di dalam dunia relatif, merupakan kemustahilan dan usaha yang sia-sia, tetapi juga bukan hal yang tak mungkin, absurd.

         Untuk itu diperlukan sistematika berpikir yang tidak sederhana dalam keseluruhan keberadaan yang sesungguhnya sederhana, sekaligus kompleks. Mengingat kebenaran itu, bukanlah subjek dan juga bukan objek. Dia, ada di luar kemampuan penginderaan. Indera tidak bisa menjangkaunya, walaupun kekuatan dan kemampuannya diperluas hingga tak terbatas. Kebijaksaan tidaklah mungkin didapat hanya dengan menambah pengetahuan dan menambah kekuatan indera. Ia bukan semata-mata keluasan, melain juga kedalaman.

          Oleh karena itu objek filsafat tidak bisa ditentukan di sini-sekarang. Mengingat objek filsafat adalah segala keberadaan, bukan terbatas hanya pada ada yang sekarang saja, tetapi juga ada yang pernah ada, bahkan ada yang mungkin ada, karena itu studi filsafat mempunyai rumusan yang beragam.

          Tanpa mempersoalkan ragam mana dari rumusan yang benar, pada dasarnya filsafat adalah usaha akal manusia mencari dan mendapatkan pandangan mengenai dunia dan pandangan hidup yang benar, yang memuaskan pencarinya . Usaha berfilsafat dimulai ketika orang berusaha menjelaskan asal-mula dan tujuan dunia serta kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya berdasarkan akalnya, bukan berdasarkan keterangan agama. Orang secara teknis mulai berfilsafat dalam arti yang sebenarnya, jika ia mulai dengan akalnya mencari jawaban atas segala persoalan yang bersangkutan dengan dunia, baik mengenai asal mulanya maupun nasib dan tujuannya.


0 komentar:

Posting Komentar