Rabu, 21 Desember 2016

Metode Filsafat Ilmu dan Dasar-Dasar Pengetahuan

Edit Posted by with No comments
               Metode Filsafat Ilmu dan Dasar-Dasar Pengetahuan


1. Metode Filsafat Ilmu

        Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filosuf itu sendiri. Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adalah sebagai berikut:

a. Metode Kritis: Socrates dan Plato

       Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang. Merupakan hermeneutika, yangmenjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat.

b. Metode Intuitif: Plotinus dan Bergson

        Dengan jalan metode intropeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan membersihkan intelektual (bersama dengan pencucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.

c. Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Squinas, Filsafat Abad Pertengahan.

         Metode ini bersifat sintetis-deduktif dengan bertitik tolak dari defenisi-defenisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan.

d. Metode Geometris: René Descartes dan pengikutnya

         Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu didedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.

e. Metode Empiris:Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume

        Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide ) dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian di susun bersama secara geometris.

f. Metode Transendental: Immanuel Kant dan Neo Skolastik

         Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian yang sedemikan rumit dan kompleks.

g. Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme

        Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomelogi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau yang membicarakan gejala. Hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan dan menurut Husserl ada tiga macam reduksi yaitu:

1) Reduksi fenomologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita agar mendapat fenomena semurni-murninya.

2) Reduksi eidetis

3) Reduksi transendental

h. Metode Dialektis: Hegel dan Mark

         Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitetis, sistesis dicapai hakikat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian didamaikan (tesis-antitesis-sintesis).

i. Metode Non-Positivistis

       Kenyataan yang dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).

j. Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein

       Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini dinilai cukup netral sebab tidak sama sekali mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya adalah semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis.

2. Dasar- Dasar Pengetahuan.

       Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.

            Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme)

        Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.[2][16]

           Menurut Bahm ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia sehingga menghasilkan suatu pengetahuan manusia yaitu[3][17]:

a. Mengamati (Observes)

        Pikiran memiliki peran mengamati obyek-obyek dalam melaksanakan pengamatan terhadap obyek, pikiran haruslah mengandung kesadaran, pengamatan sering kali muncul dari rasa ketertarikan dalam obyek.

b. Kegiatan Menyelidiki (Inqures)

          Ketertarikan pada obyek membuat seseorang mau untuk mempelajari dan menyelidiki obyek tersebut. Bagaimana obyek tersebut ada dan berkembang, manfaat dan obyek tersebut minat seseorang terhadap obyek mendorong mereka mau terlibat untuk memahami dan menyelidiki obyek-obyek tersebut.

c. Tahapan mempercayai obyek tersebut (Believes)

        Setelah mereka mempelajari dan menyelidiki obyek yang muncul dalam kesadaran mereka, biasanya obyek tersebut diterima sebagai obyek yang tampak sikap percaya biasanya dilawankan dengan keraguan.

d. Hasrat (Keinginan) dan Desires

        Hasrat atau keinginan timbul dari adanya ketertarikan pada kesenangan, kehormatan, penghormatan, rasa aman dan lain-lain. Hasrat biasanya melibatkan beberapa perasaan puas dan frustasi dan berbagai respon terhadap perasaan tertentu.

e. Maksud dan Tujuan (Intends)

        Walaupun seseorang memiliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki, mempercayai dan berhasrat, namun perasaanya belum tentu mau menerima dengan segera, terkadang mereka enggan atau malas untuk melaksanakanya.

f. Mengatur (Organizes)

         Setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang, pikiran mengatur melalui keadaran yang sudah jadi, disamping itu pikiran mengatur melalui panggilan untuk memunculkan obyek serta melalui pengingatan dan mendukung penampilan obyek-obyek.

g. Proses Penyesuaian (Adaptasi)

        Menyesuaikan pikiran-pikiran yang ada sekaligus melakukan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh. Pikiran itu berasal dari fisik, biologis, lingkungan dan kultural.

h. Proses Menikmati (Enjoys)

        Pikiran-pikiran dapat mendatangkan keasyikan, seseorang yang asyik dalam menekuni suatu persoalan, maka ia akan menikmati itu dalam pikirannya

SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN

1. Menurut paradigma filsafat Barat

         Semua orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat? Dari situ timbul pertanyan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau darimana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:

a. Idealisme

         Pertama, idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.

b. Empirisme

          Paham selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).

          Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995). Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan penalaran rasional yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi yang sulit memperoleh pembenaran factual.

            David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakanbahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (empressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kean-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.(Amsal Baktiar; 2002)

          Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep indrawi, hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya.(Muhammad baqir as-Shadar;1995). Jadi dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.

Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:

1) Indra terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.

2) Indra menipu, pada yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.

3) Objek yang menipu, contohnya fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indra, ia membohongi indra.

4) Berasal dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan badanya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indra manusia.

c. Rasionalisme

         Paradigma selanjutnya adalah Rasionalisme, sebuah aliran yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui pertimbangan akal. Dalam beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat menemukan dan memaklumkan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh tokoh seperti Rene Deskrates (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716). Menurut kelompok ini, dalam setiap benda sebenarnya terdapat ide – ide terpendam dan proposisi - proposisi umum yang disebut proposi keniscayaan yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi empiris.

      Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.

          Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kuasalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.(Harun nasution;1995)

          Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.

        Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat dilakukan.(Jujun S. Suriasumantri;1998).

d. Positivisme

         Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.

        Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.(Drs. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A; 2004 :133).

         Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.

         Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang bekerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.

2. Menurut Saintis Islam

        Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia. Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia .

          Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang akan datang, yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui oleh kalangan yang sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur-an juga memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk melakukan kajian atau pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawakuf) serta menyerahkan segala urusanya kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali’Imran ayat 190 dan 191 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ

وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ,Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

          Di kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan muslim, terutama yang muncul pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak memberi kontribusi pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
        Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam

         Kalau di Barat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah Hasan, 2006: 39)

          Allahlah sumber segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang dikuasai manusia selama ini sangat terbatas dan sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Tuhan telah memberikan ilmu-Nya kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya seperti malaikat, dengan beberapa cara seperti dengan ilham, instink, indra, nalar (reason), pengalaman dan lain sebagainya. Atau dengan istilah lain, melalui penelitian dan survey, juga melalui penelitian laboratories, dan ada juga yang melalui kontemplasi/perenungan yang tajam dan melalui informasi wahyu yang diterima para Rasul Allah. Itu semua merupakan cara-cara yang digunakan oleh Allah untuk memberi ilmu pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan kecakapan kepada manusia, tetapi sumbernya tetaplah Allah.

         Prof. DR. Cecep Sumarna mengatakan, bahwa dikalangan filosof dan saintis muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu. Bagi umat islam hal itu termanifestasi dalam bentuk Al-Qr’an dan As-Sunah. Sumber Al-Qur’an ini bukan hanya mendampingi sumber pengetahuan lain, misalnya sumber empiris yang faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-Qur’an bahkan dapat dianggap pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif islam, alam menjadi sumber empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga. Ia adalah symbol terendah dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha Qudus. (Prof. DR. Cecep Sumarna; 2008:111). Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu pengetahuan secara langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.

         DR. Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah, sebagiandiwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. (DR. Ahmad tafsir; 2008: 8)

           Bagi orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau hadits Rasul. Demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya itu. Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :

"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar dari pada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).

          Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).

0 komentar:

Posting Komentar