Rabu, 21 Desember 2016

Berani Untuk Hidup Benar

Edit Posted by with No comments


                Berani Untuk Hidup Benar

Menjadi orang benar tidak selalu beruntung. Seringkali, orang justru jadi buntung.
Orang baik tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya.
Orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur tidak otomatis mendapatkan jahat.
Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat kita selalu merasa tercekik.
Di tengah orang jahat, beranikah kita menjadi orang baik? Beranikah kita berkata benar, ketika semua orang memaksa kita untuk mengatakan yang terbalik?
Penelitian Solomon Asch
Solomon Asch ingin menjawab pertanyaan itu. Ia pun melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban jitu.
Pertanyaan penelitiannya sederhana, apakah orang di dalam kelompok berani menyatakan pendapatnya yang obyektif benar, jika semua orang lainnya memberikan jawaban yang salah? Apakah orang berani menyatakan pendapatnya yang benar, di tengah orang-orang yang sengaja salah, dengan tidak resah?
Apa yang terjadi setelahnya? Berdasarkan penelitiannya, Asch menemukan bahwa sekitar 37 persen orang memberikan jawaban yang salah, sama seperti anggota kelompok lainnya.
Artinya, kata kelompok bisa memaksa orang untuk meragukan pendapatnya sendiri. Walaupun ia tahu bahwa pendapat kelompok tidak benar, orang bisa melakukan penyesuaian, mungkin juga dengan mengkhianati diri.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, orang takut dianggap pengkhianat. Ia takut dicap sebagai pemberontak yang laknat.
Akibatnya, orang kehilangan pendapat orisinalnya. Kata kelompok mendikte kata hatinya. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi taruhannya.
Di level politik, cara berpikir semacam ini memberi dampak yang besar. Orang bisa dicap macam-macam, mulai sebagai individu yang tidak bisa bekerja sama, sampai dicap sebagai pembangkang yang bermulut kasar.
Kebenaran dan Kesepakatan
Ada kesimpulan prematur dari penelitian ini, bahwa kebenaran adalah apa yang dianggap suatu kelompok sebagai benar. Kebenaran adalah apa yang disepakati kelompok sebagai kebenaran, tidak peduli, apakah itu bernalar atau tidak bernalar.
Jika anda berkata benar di tengah orang-orang yang berkata salah, maka andalah yang berkata salah. Jika anda orang waras di antara orang-orang gila, maka andalah yang bermasalah.
Cara pandang semacam ini berbahaya. Kita harus sadar, bahwa kebenaran itu lebih luas dari pada yang keluar dari kesepakatan dalam bentuk wacana.
Jika kita masih percaya, bahwa kebenaran itu berada di dalam kelompok, maka kita tidak sadar akan adanya pengaruh kekuasaan. Percaya apa kata kelompok begitu saja berarti kita menyerahkan kebebasan kita pada kebodohan.
Filsafat Ilmu
Di dalam penelitian filsafat ilmu, ada dua bentuk penemuan pengetahuan, yakni konteks penemuan, dan konteks justifikasi, atau konteks pembenaran. Yang pertama adalah temuan sang ilmuwan di lapangan, dan yang kedua adalah pembuktian di depan kalangan berpengalaman.
Mungkin saja terjadi, bahwa ketika di lapangan, seseorang menemukan data atau penjelasan baru, namun bermasalah ketika dihadapkan pada komunitas berpengalaman. Artinya, saya menemukan sesuatu, tetapi temuan saya tersebut ternyata tidak terbuktikan.
Ini adalah proses yang berkelanjutan di dalam ilmu pengetahuan. Tentu saja, kekuasaan dan arogansi intelektual seringkali ambil bagian. Orang tidak diterima di kalangan komunitas ilmiah bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena sebab lain yang mungkin menyinggung rasa keadilan.
Jadi, kebenaran selalu lebih luas daripada kesepakatan atasnya. Kebenaran selalu meloloskan diri dari dunia sosial, sama seperti makna selalu meloloskan diri dari bahasa.
Kebenaran bersifat subyektif
Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, mengajarkan sesuatu kepada kita. Baginya, kebenaran selalu terletak di dalam diri, dan bukan di luar sana.
Tentu saja, ada tingkatan kebenaran. Pada level politis, kebenaran selalu mengandaikan adanya kumpulan orang yang mencapai kesepakatan. Akan tetapi, pada level yang paling luhur, kebenaran selalu merupakan keyakinan individu akan kehidupan.
Pada level yang paling dalam di dalam hidup manusia, kebenaran bersifat subyektif yang diyakini seseorang atas hidupnya. Ia melampaui kategori baik dan buruk, sosial maupun individual, dan mencapai level level terdalam eksistensi manusia.
Orang beragama menyebutnya sebagai iman, sementara para pemikir eksistensial akan menyebutkan sebagai kebenaran yang otentik: kebenaran yang berlaku untukku. Kebenaran otentik inilah yang pada akhirnya akan membebaskan manusia dari belenggu.
Mempertahankan eksistensi
Setiap orang perlu kepribadian. Kepribadian itulah yang mencirikan dia sebagai manusia di dalam kehidupan.
Seringkali, kepribadian itu lenyap ditelan wacana. Wacana yang dibentuk oleh manusia dan seringkali sekaligus mendikte dirinya.
Dalam situasi itu, setiap orang perlu menegaskan dirinya. Ia perlu menyatakan, bahwa inilah yang kuyakini sebagai kebenaran, dan bukan yang lainnya.
Orang perlu hening dari apa kata kelompok, dan mendengarkan hatinya. Orang perlu hening dari apa kata dunia sosial, dan melihat jauh ke dalam dirinya.
Hanya disitulah orang bisa sampai pada kebenaran. Kebenaran yang hanya perlu satu hal untuk untuk mewujudkannya: yakni keberanian.***

0 komentar:

Posting Komentar