Berani Untuk Hidup Benar
Menjadi orang benar tidak selalu beruntung. Seringkali, orang justru jadi
buntung.
Orang baik
tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat
tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya.
Orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur
tidak otomatis mendapatkan jahat.
Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti
orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat
kita selalu merasa tercekik.
Di tengah orang jahat, beranikah kita menjadi orang baik? Beranikah kita
berkata benar, ketika semua orang memaksa kita untuk mengatakan yang terbalik?
Penelitian
Solomon Asch
Solomon Asch ingin menjawab pertanyaan itu. Ia pun melakukan penelitian
untuk mendapatkan jawaban jitu.
Pertanyaan penelitiannya sederhana, apakah orang di dalam kelompok berani
menyatakan pendapatnya yang obyektif benar, jika semua orang lainnya memberikan
jawaban yang salah? Apakah orang berani menyatakan pendapatnya yang benar, di
tengah orang-orang yang sengaja salah, dengan tidak resah?
Apa yang terjadi setelahnya? Berdasarkan penelitiannya, Asch menemukan
bahwa sekitar 37 persen orang memberikan jawaban yang salah, sama seperti
anggota kelompok lainnya.
Artinya, kata kelompok bisa memaksa orang untuk meragukan pendapatnya
sendiri. Walaupun ia tahu bahwa pendapat kelompok tidak benar, orang bisa
melakukan penyesuaian, mungkin juga dengan mengkhianati diri.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, orang takut dianggap
pengkhianat. Ia takut dicap sebagai pemberontak yang laknat.
Akibatnya, orang kehilangan pendapat orisinalnya. Kata kelompok mendikte
kata hatinya. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi
taruhannya.
Di level politik, cara berpikir semacam ini memberi dampak yang besar.
Orang bisa dicap macam-macam, mulai sebagai individu yang tidak bisa bekerja
sama, sampai dicap sebagai pembangkang yang bermulut kasar.
Kebenaran
dan Kesepakatan
Ada kesimpulan prematur dari penelitian ini, bahwa kebenaran adalah apa
yang dianggap suatu kelompok sebagai benar. Kebenaran adalah apa yang
disepakati kelompok sebagai kebenaran, tidak peduli, apakah itu bernalar atau
tidak bernalar.
Jika anda berkata benar di tengah orang-orang yang berkata salah, maka
andalah yang berkata salah. Jika anda orang waras di antara orang-orang gila,
maka andalah yang bermasalah.
Cara pandang semacam ini berbahaya. Kita harus sadar, bahwa kebenaran itu
lebih luas dari pada yang keluar dari kesepakatan dalam bentuk wacana.
Jika kita masih percaya, bahwa kebenaran itu berada di dalam kelompok, maka
kita tidak sadar akan adanya pengaruh kekuasaan. Percaya apa kata kelompok
begitu saja berarti kita menyerahkan kebebasan kita pada kebodohan.
Filsafat
Ilmu
Di dalam penelitian filsafat ilmu, ada dua bentuk penemuan pengetahuan,
yakni konteks penemuan, dan konteks justifikasi, atau konteks pembenaran. Yang
pertama adalah temuan sang ilmuwan di lapangan, dan yang kedua adalah
pembuktian di depan kalangan berpengalaman.
Mungkin saja terjadi, bahwa ketika di lapangan, seseorang menemukan data
atau penjelasan baru, namun bermasalah ketika dihadapkan pada komunitas
berpengalaman. Artinya, saya menemukan sesuatu, tetapi temuan saya tersebut
ternyata tidak terbuktikan.
Ini adalah proses yang berkelanjutan di dalam ilmu pengetahuan. Tentu saja,
kekuasaan dan arogansi intelektual seringkali ambil bagian. Orang tidak
diterima di kalangan komunitas ilmiah bukan karena ia tidak mampu, tetapi
karena sebab lain yang mungkin menyinggung rasa keadilan.
Jadi, kebenaran selalu lebih luas daripada kesepakatan atasnya. Kebenaran
selalu meloloskan diri dari dunia sosial, sama seperti makna selalu meloloskan
diri dari bahasa.
Kebenaran
bersifat subyektif
Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, mengajarkan sesuatu kepada kita.
Baginya, kebenaran selalu terletak di dalam diri, dan bukan di luar sana.
Tentu saja, ada tingkatan kebenaran. Pada level politis, kebenaran selalu
mengandaikan adanya kumpulan orang yang mencapai kesepakatan. Akan
tetapi, pada level yang paling luhur, kebenaran selalu merupakan keyakinan individu
akan kehidupan.
Pada level yang paling dalam di dalam hidup manusia, kebenaran bersifat
subyektif yang diyakini seseorang atas hidupnya. Ia melampaui kategori baik dan
buruk, sosial maupun individual, dan mencapai level level terdalam eksistensi
manusia.
Orang beragama menyebutnya sebagai iman, sementara para pemikir
eksistensial akan menyebutkan sebagai kebenaran yang otentik: kebenaran yang
berlaku untukku. Kebenaran otentik inilah yang pada akhirnya akan membebaskan
manusia dari belenggu.
Mempertahankan
eksistensi
Setiap orang perlu kepribadian. Kepribadian itulah yang mencirikan dia
sebagai manusia di dalam kehidupan.
Seringkali, kepribadian itu lenyap ditelan wacana. Wacana yang dibentuk
oleh manusia dan seringkali sekaligus mendikte dirinya.
Dalam situasi itu, setiap orang perlu menegaskan dirinya. Ia perlu
menyatakan, bahwa inilah yang kuyakini sebagai kebenaran, dan bukan yang
lainnya.
Orang perlu
hening dari apa kata kelompok, dan mendengarkan hatinya. Orang perlu hening
dari apa kata dunia sosial, dan melihat jauh ke dalam dirinya.
Hanya
disitulah orang bisa sampai pada kebenaran. Kebenaran yang hanya perlu satu hal
untuk untuk mewujudkannya: yakni keberanian.***
0 komentar:
Posting Komentar