Gotong
Royong Falsafah Bangsa yang Terlupakan
Kata gotong
royong semakin jarang dan asing kita dengarkan
di telinga kita saat ini. Jika
disebutkan kata gotong royong, maka secara
refleks kita akan membayangkan dan
memikirkan kerja bakti bersama warga di
suatu kelurahan membersihkan selokan dan
jalan raya. Atau kegiatan kerjasama warga
di suatu desa terpencil dalam membuat,
memelihara dan merawat sarana publik,
seperti irigasi, rumah ibadah, balai desa
dan lainnya.
Manusia modern seakan tidak memiliki
kesempatan meluangkan waktunya untuk
bersosialisasi dengan manusia lain yang ada
disekitarnya. Kebutuhan hidup menuntutnya untuk
tetap terus bekerja mencari uang. Bahkan
untuk hal - hal yang sesungguhanya
mudah diselesaikan apabila dikerjakan dengan
gotong royong seperti resepsi pernikahan,
manusia modern sebaliknya membayar panitia
resepsi untuk mengerjakan dan menyediakan
kebutuhan resepsi tersebut. Dengan alasan
mereka tidak mampu mengerjakan semua
pekerjaan itu, sedang pekerjaan mereka
tidak bisa ditinggalkan. Berbeda halnya
jika resepsi tersebut dilaksanakan di
sebuah desa terpencil, warga desa bahu
- membahu membantu menyelenggarakan resepsi
pernikahan tersebut tanpa pamrih.
Akibat dari modernisasi dan westernisasi
kita melupakan falsafah bangsa yang sangat
luhur yaitu gotong royong. Falsafah gotong
royong tersebut sesungguhnya telah menjadi
jati diri bangsa yang telah ada sejak
zaman Hindu - Budha. Keunikan bangsa
ini sejatinya telah dikenal dunia
internasional sebagai ciri khas yang telah
membudaya pada diri bangsa Indonesia.
Seperti disebutkan Presiden Obama saat mengenang
kisahnya tinggal di Indonesia, gotong
royong merupakan budaya Indonesia dan tidak
terdapat di tempat lain termasuk di
Amerika Serikat. Beliau sangat mengagumi
nilai kebersamaan dan kekeluargaan dari
gotong royong dan memimpikan agar suatu
saat Amerika memiliki budaya gotong royong
juga. Mengingat individualisme di Amerika
sangat tinggi, sedangkan rasa solidaritas
mereka sangat rendah.
Sungguh ironis kita bangsa Indonesia selaku
pemilik falsafah gotong royong terkesan
tidak peduli dan tidak melestarikan
falsafah gotong royong tersebut.
Bukan tidak mungkin jika rasa kepedulian
kita terhadap falsafah bangsa tersebut
rendah, maka falsafah tersebut akan punah.
Banyak sudah contoh sejarah tercatat
mengenai budaya bangsa yang punah akibat
rasa kepedulian bangsa yang rendah. Sebagai
contoh aksara Arab - Melayu merupakan
budaya Indonesia yang unik dan akhirnya
punah terganti dengan aksara Romawi
sekarang. Sungguh berbeda halnya dengan Thailand
yang masih menjaga warisan budaya leluhur
mereka berupa aksara Palawa Thai yang
justru saat ini digunakan sebagai aksara
nasional Thailand.
Prof. Soepomo dan Presiden
Soekarno Mengingatkan Kembali
Mengingat
kembali perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia
tahun 1945. Jauh sebelum proklamasi
berkumandang di Pegangsaan Timur, Soekarno
dan beberapa pejuang lainnya telah
memikirkan falsafah dasar negara yang akan
dibentuk ini. Begitu pentingnya falsafah
dasar negara tersebut sehingga dijadikan
agenda utama dalam rapat pertama BPUPKI
yang harus dipecahkan dan diselsesaikan.
Tidak banyak pejuang yang memiliki wawasan
luas mengenai falsafah gotong royong
sebagai warisan budaya Indonesia sejak
zaman Hindu - Budha. Mereka yang
mengetahui adalah Prof. Soepomo dan presiden
Soekarno. Didahului oleh pendapat Prof. Soepomo
dalam rapat BPUPKI tanggal 31 Mei
1945 yang menyebutkan bahwa negara
seharusnya dipimpin oleh pemimpin yang
senantiasa menyatu dengan rakyat dengan
semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Menurutnya negara tidak milik satu orang,
tetapi milik semua rakyat. Untuk itu
seluruh rakyat harus bersatu dalam
membangun suatu negara demi kesejahteraan rakyat.
Kemudian dilanjutkan oleh presiden Soekarno
pada rapat BPUPKI 1 Juni 1945. Adapun
pendapat beliau adalah Indonesia memiliki 5
falsafah dasar negara, antara lain;
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisnisme,
Permusyawaratan mufakat, Kesejahteraan sosial dan
KeTuhanan. Lalu presiden Soekarno menyimpulkan
kelima falsafah tersebut ke dalam satu
wadah yaitu gotong royong. Negara dalam
pemikiran presiden Soekarno adalah negara
gotong royong, yaitu negara yang berusaha,
beramal, bekerja dan berkarya bersama-sama. Membanting
tulang, memeras keringat, berjuang bantu-membantu
bersama-sama dan hasilnya semua untuk
kepentingan bersama.
Jelaslah bahwa inti dari falsafah gotong
royong yang kembali diingtkan Prof. Soepomo
dan presiden Soekarno adalah kerja sama
sesama rakyat demi mencapai satu tujuan.
Dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan
semua rakyat merasakan hasilnya bersama -
bersama. Bukankah sesuatu apabila dikerjakan
secara bersama akan terselesaikan lebih
mudah dari pada dikerjakan dengan sendiri?
Seharusnya kita
menyadari bangsa ini sudah terlalu jauh
tercerai - berai. Akibatnya kita sulit
mencapai tujuan yang diinginkan, karena
hanya sedikit orang yang berjuang mencapai
tujuan tersebut. Sedangkan orang lain,
sibuk dengan tujuannya yang lain. Tidakkah
kita bisa mengambil hikmah pelajaran dari
negara sahabat Vietnam yang tercerai-berai
berpuluh-puluh tahun. Namun setelah mereka
berhasil bersatu dan bekerja sama dalam
menggapai tujuan. Kini mereka mampu
melampaui pencapaian Indonesia khususnya di
bidang pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar