Rabu, 21 Desember 2016

Kebenaran yang Tersembunyi

Edit Posted by with No comments



Kebenaran yang Tersembunyi
Apa yang lebih romantik dari berbicara tentang kebenaran? Apakah cinta lebih romantik daripada kebenaran? Tanpa kebenaran, cinta adalah penjajahan. Cinta pun butuh setetes kebenaran.
Proses pencarian akan kebenaran sudah setua sejarah manusia itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan para filsuf awal tentang realitas menunjukkan adanya usaha untuk memahami dunia di luar diri.
Manusia kagum, dan bertanya tentang realitas di hadapannya. Manusia kagum akan kerumitan sekaligus keindahan tatanan semesta. Di depan matanya, alam semesta menggambarkan keagungan sang Pencipta.
Jatuh Bangun Sains
Rasa kagum, heran, dan hormat terhadap tatanan semesta tersebut mengental di dalam praktek ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi bentuk konkret dari upaya dasar manusia menemukan kebenaran.
Disinilah salah satu titik balik terpenting di dalam sejarah manusia, ketika Mitos menjadi Logos. Ketika cara berpikir manusia berubah dari cara berpikir mitologis menjadi cara berpikir rasional, yang disebut sebagai Logos.
Praktek Logos tersebut tergambarkan di dalam empat kegiatan dasar sains, yakni memahami, menjelaskan, melakukan prediksi, dan kontrol atas realitas. Akan tetapi, sejarah tidak berjalan semulus apa yang tertulis di atas kertas.
Cukup lama, peradaban manusia dikungkung oleh otoritas. Kebebasan berpikir dan inovasi pun hanya harapan yang mengambang tanpa realitas.
Pada saat itu, manusia dipenjara oleh otoritas di luar dirinya. Politik dan agama membuat ilmu pengetahuan membisu tanpa mampu berbicara.
Akibatnya, banyak hal menjadi tidak terjelaskan secara masuk akal. Penyakit dan bencana dipandang sebagai murka Sang Pencipta yang tidak rasional. Dunia menjadi tidak masuk akal.
Positivisme
Lahirlah Francis Bacon yang mencoba menyelamatkan ilmu pengetahuan dari penjajahan. Dia melihat bahwa pengetahuan manusia haruslah berpijak pada pengalaman. Hanya dengan begitulah manusia bisa mencapai kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa pengalaman. Tidak ada kebenaran tanpa pengetahuan.
Auguste Comte meradikalkan ide Bacon dengan positivismenya. Realitas yang layak kaji adalah realitas positif yang teramati oleh indera. Selain itu, semuanya adalah metafisika yang sia-sia.
Positivisme melesat di dalam kajian ilmu-ilmu alam. Banyak hal ditemukan di dalam alam yang berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Para ilmuwan sosial menyaksikan kemajuan itu dengan perasaan gamang. Mereka pun berniat menggunakan metode ilmu-ilmu alam sebagai acuan.
Akibatnya, kehidupan manusia, yang menjadi kajian dari ilmu-ilmu sosial, disempitkan melulu pada apa yang teramati oleh indera. Kehidupan manusia melulu dipahami sebagai fakta.
Padahal, manusia juga punya nilai yang membuat hidupnya bermakna. Nilai yang tidak kasat mata, namun merupakan inti hidupnya. Inilah yang tidak dipahami oleh positivisme di dalam penelitiannya.
Yang ironis, praktek positivistik tersebut menjadi mode di dalam ilmu-ilmu sosial. Psikologi, sosiologi, dan ekonomi memakai pendekatan itu sebagai titik tolak analisis dunia sosial. Kehidupan manusia pun dipersempit sebagai obyek inderawi yang banal.
Sains yang hendak membebaskan dirinya dari pasungan otoritas, kini jatuh ke dalam pasungan baru yang dibuatnya sendiri. Sains menjadi mekanis, dan kehilangan kemampuan untuk kritik diri.
Manusia pun dianggap sebagai mahluk yang sepenuhnya terdefinisi. Kebenaran pun tetap tak bergeming dan tersembunyi.
Perlu Alternatif
Padahal, seperti halnya semua mahluk insani, manusia berziarah di dalam dunia mencari arti. Pencarian yang dilakukannya tanpa henti.
Dengan kesadaran itulah sebuah alternatif cara pandang penting untuk dirumuskan. Alternatif paradigma saintifik yang tidak lagi memandang manusia sebagai benda stagnan, tetapi sebagai proyek yang masih harus diselesaikan.
Di dalam paradigma alternatif ini, kebenaran dianggap tertanam di dalam realitas kehidupan. Kehidupan pun dipandang sebagai jaringan makna yang majemuk dan berkelit kelindan.
Walaupun majemuk dan membentuk jaringan yang rumit, realitas tetap dipandang sebagai satu kesatuan. Di dalam kesatuan dari kemajemukan itulah ditemukan kebenaran.
Di dalam paradigma ini, manusia bukanlah obyek yang sudah terdefinisi, melainkan subyek yang punya kehendak bebas. Ia sadar akan dirinya sendiri, sekaligus sudah berpijak realitas. Tanpa realitas, ia tidak menjadi bebas.
Manusia mengetahui, dan dengan pengetahuan itulah ia menjadi bebas. Pengetahuan adalah artifak kehidupan yang membuat hidup manusia menjadi lebih berkualitas.
Kualitas kehidupan manusia ditentukan oleh kemanusiaannya. Diperlukan paradigma alternatif yang menjamin kemanusiaan tetap menjadi yang utama.
Bukan obyek pengetahuan yang penting, melainkan krisis kemanusiaan yang perlu diselesaikan. Krisis kemanusiaan yang juga merupakan krisis keterlibatan manusia di dalam perkembangan dunia kehidupan.
Ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini telah membuat manusia terasing dan membisu. Alih-alih memupuk kekaguman dan rasa hormat terhadap realitas, ilmu pengetahuan malah membuat manusia terperangkap di dalam jaring-jaring rasa ragu dan jemu.
Diperlukan paradigma alternatif di dalam ilmu pengetahuan yang menyadari dan menghormati kerumitan realitas dan diri. Siapa tahu dengan itu, kebenaran tidak lagi tersembunyi.***

0 komentar:

Posting Komentar