Kebenaran yang
Tersembunyi
Apa yang lebih romantik dari berbicara tentang
kebenaran? Apakah cinta lebih romantik daripada kebenaran? Tanpa kebenaran,
cinta adalah penjajahan. Cinta pun butuh setetes kebenaran.
Proses pencarian akan kebenaran sudah setua sejarah
manusia itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan para filsuf awal tentang realitas
menunjukkan adanya usaha untuk memahami dunia di luar diri.
Manusia kagum, dan bertanya tentang realitas di
hadapannya. Manusia kagum akan kerumitan sekaligus keindahan tatanan semesta.
Di depan matanya, alam semesta menggambarkan keagungan sang Pencipta.
Jatuh Bangun Sains
Rasa kagum, heran, dan hormat terhadap tatanan semesta
tersebut mengental di dalam praktek ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi
bentuk konkret dari upaya dasar manusia menemukan kebenaran.
Disinilah salah satu titik balik terpenting di dalam
sejarah manusia, ketika Mitos menjadi Logos. Ketika cara berpikir manusia
berubah dari cara berpikir mitologis menjadi cara berpikir rasional, yang
disebut sebagai Logos.
Praktek Logos tersebut tergambarkan di dalam empat
kegiatan dasar sains, yakni memahami, menjelaskan, melakukan prediksi, dan
kontrol atas realitas. Akan tetapi, sejarah tidak berjalan semulus apa yang
tertulis di atas kertas.
Cukup lama, peradaban manusia dikungkung oleh
otoritas. Kebebasan berpikir dan inovasi pun hanya harapan yang mengambang
tanpa realitas.
Pada saat itu, manusia dipenjara oleh otoritas di luar
dirinya. Politik dan agama membuat ilmu pengetahuan membisu tanpa mampu berbicara.
Akibatnya, banyak hal menjadi tidak terjelaskan secara
masuk akal. Penyakit dan bencana dipandang sebagai murka Sang Pencipta yang
tidak rasional. Dunia menjadi tidak masuk akal.
Positivisme
Lahirlah Francis Bacon yang mencoba menyelamatkan ilmu
pengetahuan dari penjajahan. Dia melihat bahwa pengetahuan manusia haruslah
berpijak pada pengalaman. Hanya dengan begitulah manusia bisa mencapai
kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa pengalaman. Tidak ada kebenaran tanpa
pengetahuan.
Auguste Comte meradikalkan ide Bacon dengan
positivismenya. Realitas yang layak kaji adalah realitas positif yang teramati
oleh indera. Selain itu, semuanya adalah metafisika yang sia-sia.
Positivisme melesat di dalam kajian ilmu-ilmu alam.
Banyak hal ditemukan di dalam alam yang berguna untuk meningkatkan kualitas
kehidupan.
Para ilmuwan sosial menyaksikan kemajuan itu dengan
perasaan gamang. Mereka pun berniat menggunakan metode ilmu-ilmu alam sebagai
acuan.
Akibatnya, kehidupan manusia, yang menjadi kajian dari
ilmu-ilmu sosial, disempitkan melulu pada apa yang teramati oleh indera.
Kehidupan manusia melulu dipahami sebagai fakta.
Padahal, manusia juga punya nilai yang membuat
hidupnya bermakna. Nilai yang tidak kasat mata, namun merupakan inti hidupnya.
Inilah yang tidak dipahami oleh positivisme di dalam penelitiannya.
Yang ironis, praktek positivistik tersebut menjadi
mode di dalam ilmu-ilmu sosial. Psikologi, sosiologi, dan ekonomi memakai
pendekatan itu sebagai titik tolak analisis dunia sosial. Kehidupan manusia pun
dipersempit sebagai obyek inderawi yang banal.
Sains yang hendak membebaskan dirinya dari pasungan
otoritas, kini jatuh ke dalam pasungan baru yang dibuatnya sendiri. Sains
menjadi mekanis, dan kehilangan kemampuan untuk kritik diri.
Manusia pun dianggap sebagai mahluk yang sepenuhnya
terdefinisi. Kebenaran pun tetap tak bergeming dan tersembunyi.
Perlu Alternatif
Padahal, seperti halnya semua mahluk insani, manusia
berziarah di dalam dunia mencari arti. Pencarian yang dilakukannya tanpa henti.
Dengan kesadaran itulah sebuah alternatif cara pandang
penting untuk dirumuskan. Alternatif paradigma saintifik yang tidak lagi
memandang manusia sebagai benda stagnan, tetapi sebagai proyek yang masih harus
diselesaikan.
Di dalam paradigma alternatif ini, kebenaran dianggap
tertanam di dalam realitas kehidupan. Kehidupan pun dipandang sebagai jaringan
makna yang majemuk dan berkelit kelindan.
Walaupun majemuk dan membentuk jaringan yang rumit,
realitas tetap dipandang sebagai satu kesatuan. Di dalam kesatuan dari
kemajemukan itulah ditemukan kebenaran.
Di dalam paradigma ini, manusia bukanlah obyek yang
sudah terdefinisi, melainkan subyek yang punya kehendak bebas. Ia sadar akan
dirinya sendiri, sekaligus sudah berpijak realitas. Tanpa realitas, ia tidak
menjadi bebas.
Manusia mengetahui, dan dengan pengetahuan itulah ia
menjadi bebas. Pengetahuan adalah artifak kehidupan yang membuat hidup manusia
menjadi lebih berkualitas.
Kualitas kehidupan manusia ditentukan oleh
kemanusiaannya. Diperlukan paradigma alternatif yang menjamin kemanusiaan tetap
menjadi yang utama.
Bukan obyek pengetahuan yang penting, melainkan krisis
kemanusiaan yang perlu diselesaikan. Krisis kemanusiaan yang juga merupakan
krisis keterlibatan manusia di dalam perkembangan dunia kehidupan.
Ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini telah membuat
manusia terasing dan membisu. Alih-alih memupuk kekaguman dan rasa hormat
terhadap realitas, ilmu pengetahuan malah membuat manusia terperangkap di dalam
jaring-jaring rasa ragu dan jemu.
Diperlukan paradigma alternatif di dalam ilmu
pengetahuan yang menyadari dan menghormati kerumitan realitas dan diri. Siapa
tahu dengan itu, kebenaran tidak lagi tersembunyi.***
0 komentar:
Posting Komentar