Tradisi
filsafat
Menurut Majid
Fakhry, tradisi filsafat
bermula muncul di pesisir Samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6
Sebelum Masehi. Sedangkan bagian Timur ini merupakan wilayah Asia.
Oleh karenanya dalam dunia filsafat terkenal adanya
istilah “kearifan timur” sebagai the ancient wisdom, karena memang
awal mula munculnya tradisi
filsafat adalah dari dunia Timur. Lalu dari Asia Minor yang berada di Barat
Asia berpindah ke Aegen –yang bagian Utara dan Baratnya adalah daratan Yunani.
Beberapa abad lamanya, tanah Yunani inilah yang menjadi tempat bersemainya filsafat.
Tradisi filsafat
mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar
332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M. Iskandariah merupakan bagian
dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641
Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah tetap menjadi kota
budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan
kedokteran.
Perdebatan rasional-filosofis
dalam tradisi Islam sebenarnya sudah dimulai pada permulaan abad munculnya
Islam, yakni sekitar akhir abad ke-6 dan ke-7 yang diawali oleh aliran-aliran
teologis dalam Islam, terutama aliran Mu’tazilah. Namun pembahasan yang mereka
lakukan hanya terbatas pada permasalahan ketuhanan dalam bingkai agama.
Permasalahan lain seperti realitas alam, manusia, dan kehidupan belum banyak
mereka bicarakan dengan pemikiran yang radikal.
Pengaruh filsafat Yunani yang cukup
signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui
proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus
karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and
Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge
karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu
dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru
dimulai pada abad ke-9 di kawasan masyriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub
al-Kindi (w. 866 M). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari
menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w.
925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Ibn Miskawaih (w.
1030 M), dan al-Ghazali (w. 1111 M).
Berlanjut setelahnya, filsafat
Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya
seperti Ibn Masarrah (w. 931 M), Ibn Bajjah (w. 1139 M), Ibn Thufail (w. 1185),
Ibn Sab’in (w. 1270 M) dan berpuncak pada Ibn Rusyd (w. 1198
M) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M).
Selama ini berkembang asumsi
ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan,
bahwa kajian filsafat
Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rusyd.
Menurut Mustamin al-Mandary
asumsi semacam ini, pertama lahir dari studi-studi filsafat
Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak
filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara
al-Ghazali (1059-1111 M) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab
Parepatetik dalam filsafat
Islam, dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M). Sehingga ketika keduanya wafat, maka
tradisi filsafat
Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar
pengamat filsafat menganggap bahwa “dialektika” filosofis antar Ibn
Sina-al-Ghazali-Ibn Rusyd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita
cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah
upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat
Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas
antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap Ibn
Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah
kecenderungan filsafat
Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat
Islam ( filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ) ke arah filsafat Islam yang khas.
Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah
upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan
nilai-nilai filosofis dalam filsafat
Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya,
para pengamat sejarah filsafat
Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat
Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian
filsafat
Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Pandangan ahistoris
semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat
Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah
timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus
melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan
coraknya.
0 komentar:
Posting Komentar