Di atas
Rasa Sakit
Rasa sakit adalah bagian dari hidup manusia. Ketika
terlahir di dunia, kita sudah langsung berjumpa dengan rasa sakit. Ibu yang
melahirkan kita pun sudah akrab dengan rasa sakit. Tak mungkin manusia untuk
menghindar dari rasa sakit.
Ketika rasa sakit tiba, tubuh dan pikiran langsung
mengalaminya secara bersamaan. Ia melukai tubuh, sekaligus menggetarkan
pikiran. Cerita tentang sakit datang tanpa diundang. Cemas dan khawatir juga
datang menerkam.
Yang paling ditakuti manusia sebenarnya bukan
kematian, melainkan proses menuju mati. Rasa sakit disini adalah kepastian.
Orang kehilangan kemampuan panca inderanya, dan memasuki kekosongan dengan rasa
sakit. Setelah itu, lenyap dan gelap.
Penyelidikan tentang sumber dari rasa sakit, dan
penderitaan yang mengikutinya, juga menjadi tema penting di dalam filsafat
Timur. Rasa sakit itu pasti. Namun, penderitaan itu selalu bisa dihindari. Ada
dua sumber dasar penderitaan.
Yang pertama adalah tak mendapatkan yang diinginkan.
Orang ingin kenikmatan, tetapi justru mendapatkan kesakitan. Orang ingin rejeki
lancar, tetapi justru bankrut, ketika menjalankan usahanya. Penderitaan dan
rasa sakit muncul, ketika keinginan bertentangan dengan kenyataan.
Sumber kedua adalah sisi lain dari sumber pertama,
yakni ketika orang mendapatkan apa yang tak diinginkan. Orang menginginkan
menjadi A, tetapi justru mendapat B. Setiap orang pasti mengalami kedua sumber
ini di dalam hidupnya. Yang membedakan hanyalah sikap mereka, ketika dua hal
ini terjadi.
Rasa sakit dan penderitaan bukanlah sesuatu yang
mutlak, dan tak dapat diatasi. Orang hanya perlu melihat hakekat dari rasa
sakit itu sebagaimana adanya, tanpa memberinya label ataupun penilaian apapun.
Rasa sakit selalu merupakan bagian dari hidup. Orang yang berharap terbebas
dari rasa sakit berarti mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin, dan justru
semakin menderita, ketika sakit tiba.
Rasa sakit tak bisa lenyap. Yang bisa diubah adalah
hubungan kita dengan rasa sakit tersebut. Ketika kita melihat rasa sakit
sebagai bagian dari pengalaman hidup manusiawi, maka rasa sakit itu tidak lagi
menganggu. Ia sama netralnya, seperti pengalaman-pengalaman lain di dalam
hidup, misalnya menggaruk kulit gatal.
Kita bisa melihat rasa sakit sebagaimana adanya,
ketika kita melatih pikiran kita. Pikiran bisa dilatih, ketika ia disadari
sebagai kosong dan sementara. Orang lalu menyentuh dimensi yang lebih dalam
dari pikiran, yakni dimensi kesadaran. Pada titik ini, semua menjadi jelas
sebagaimana adanya, tanpa diliputi ilusi sedikitpun.
Kita pun lalu berada di atas rasa sakit…
0 komentar:
Posting Komentar