Dialog sebagai
Jalan Hidup
Banyak masalah di dalam hidup kita bisa ditarik ke satu sebab mendasar,
yakni tidak adanya dialog. Orang mengira pendapatnya sendiri sebagai benar, dan
menghina pendapat orang lain. Orang tidak lagi mendengar dengan seksama, sehingga
salah paham, dan cenderung menanggapi dengan amarah dan kebencian. Akibatnya,
banyak masalah tak selesai, sementara masalah baru datang bermunculan.
Sebenarnya, dialog bukanlah barang baru di dalam hidup manusia. Ia sudah
selalu menjadi bagian hidup kita. Dialog adalah upaya untuk memahami maksud dan
cara berpikir seseorang dengan berbicara langsung dengannya. Ia adalah landasan
dari beragam bentuk diskusi.
Ketika kita
merencanakan sesuatu, misalnya tujuan dari liburan tahun ini, kita berdialog
dengan teman ataupun keluarga kita. Dialog dan diskusi juga amat penting untuk
menyelesaikan kesalahpahaman yang biasanya berujung pada konflik. Ia juga
menjadi cara paling baik untuk membuat berbagai keputusan penting dalam hidup.
Bisakah kita
membayangkan dialog sebagai jalan hidup kita? Artinya, kita siap sedia untuk
berdialog saat demi saat, baik dengan diri kita dalam bentuk refleksi, maupun
dengan orang lain. Kita lalu bisa belajar dari pengalaman hidup kita, dan
bekerja sama dengan orang lain. Apakah yang kiranya diperlukan untuk mewujudkan
hidup dialogis semacam itu?
Dialog dan
Kesadaran
Peter Senge
di dalam bukunya The Fifth Discipline dan Chade Meng Tan di dalam
bukunya Search Inside Yourself sepakat, bahwa dasar terpenting dari
dialog adalah Mindfulness. Saya belum menemukan terjemahan yang tepat
untuk kata ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, saya akan menerjemahkan
kata tersebut sebagai kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran adalah kemampuan
orang untuk memperhatikan segala hal yang terjadi di dalam dirinya dari saat ke
saat, mulai dari rasa pegal, gejolak emosi, sampai dengan semua sensasi panca
indera, tanpa penilaian dan analisis apapun.
Ketika orang
berbicara di dalam dialog, ia juga perlu untuk sadar akan hal-hal yang terjadi
di dalam dirinya, serta kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ini membuatnya
tetap tenang dan jernih, sehingga bisa menyampaikan maksudnya secara jelas dan
sopan. Inilah yang disebut berbicara dengan kesadaran (mindful speaking).
Tanpa pola ini, orang akan cenderung berbicara dengan emosi, dan menimbulkan
kesalahpahaman dari pihak lain.
Untuk bisa
berbicara dengan penuh kesadaran, orang juga harus belajar mendengar dengan
kesadaran. Orang perlu menyimak sepenuhnya pembicaraan orang lain, tanpa
melakukan penilaian atau analisis apapun. Inilah yang disebut dengan mindful
hearing. Jika tidak jelas, orang boleh bertanya kepada orang tersebut. Itu
pun dilakukan dengan penuh kesadaran.
Dasar dari
mendengar dan berbicara dengan kesadaran adalah hidup yang berkesadaran (mindful
living). Hidup yang berkesadaran berarti hidup yang penuh perhatian pada
setiap gejolak di dalam tubuh yang terjadi saat ke saat. Ini berarti
memperhatikan semua perasaan, emosi, pikiran dan sensasi panca indera yang
muncul di sini dan saat ini. Semua perhatian ini dilakukan juga dengan tanpa
penilaian dan analisis apapun.
Hidup yang
Dialogis
Di dalam
bukunya yang berjudul Theorie des kommunikativen Handelns, Jürgen
Habermas, filsuf Jerman, menekankan pentingnya tindakan komunikatif sebagai
unsur penyatu di dalam masyarakat majemuk. Tindakan komunikatif adalah sebentuk
dialog dengan memperhatikan setidaknya tiga klaim dasar, yakni klaim kebenaran,
klaim kejujuran dan klaim komprehensibilitas. Artinya, tiga klaim tersebut
menjadi ukuran, ketika orang berbicara. Apakah pembicaraannya bisa
dipertanggungjawabkan kebenaran, kejujuran dan komprehensibilitasnya?
Ini tentu
berguna. Namun, tanpa mendengar dan berbicara dengan kesadaran, ketiga klaim
tersebut akan sulit tercapai. Orang lalu terjebak pada kebohongan, kebingungan
dan kesalahpahaman. Gabungan antara teori tindakan komunikatif Habermas dan
teori kesadaran (mindfulness) dari Senge dan Tan kiranya cocok untuk
menjadi dasar bagi hidup yang dialogis.
Jika kita
melihat hidup kita sebagai sebentuk dialog, maka segalanya akan lebih mudah.
Kita bisa melakukan refleksi mendalam atas pengalaman hidup kita dengan dialog
dengan diri sendiri. Kita bisa mencapai kesalingpemahaman dengan orang lain
yang berbeda cara berpikir dengan kita. Kita juga bisa hidup dalam harmoni dengan
alam, karena keterbukaan dan kesadaran kita.
Dialog juga
merupakan jantung hati dari kerja sama di dalam tim. Sebuah tim bisa bertumbuh
bersama dalam kekompakan, jika ia memiliki pola dialog yang sehat di antara
anggotanya. Visi bersama bisa ditegaskan dan kemudian diterapkan dalam hidup
sehari-hari. Berbagai tantangan pun bisa dilampaui melalui kerja sama tim yang
mantap.
0 komentar:
Posting Komentar