Rabu, 21 Desember 2016

Dialog sebagai Jalan Hidup

Edit Posted by with No comments


             Dialog sebagai Jalan Hidup

Banyak masalah di dalam hidup kita bisa ditarik ke satu sebab mendasar, yakni tidak adanya dialog. Orang mengira pendapatnya sendiri sebagai benar, dan menghina pendapat orang lain. Orang tidak lagi mendengar dengan seksama, sehingga salah paham, dan cenderung menanggapi dengan amarah dan kebencian. Akibatnya, banyak masalah tak selesai, sementara masalah baru datang bermunculan. 
            Sebenarnya, dialog bukanlah barang baru di dalam hidup manusia. Ia sudah selalu menjadi bagian hidup kita. Dialog adalah upaya untuk memahami maksud dan cara berpikir seseorang dengan berbicara langsung dengannya. Ia adalah landasan dari beragam bentuk diskusi.
           Ketika kita merencanakan sesuatu, misalnya tujuan dari liburan tahun ini, kita berdialog dengan teman ataupun keluarga kita. Dialog dan diskusi juga amat penting untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang biasanya berujung pada konflik. Ia juga menjadi cara paling baik untuk membuat berbagai keputusan penting dalam hidup.
          Bisakah kita membayangkan dialog sebagai jalan hidup kita? Artinya, kita siap sedia untuk berdialog saat demi saat, baik dengan diri kita dalam bentuk refleksi, maupun dengan orang lain. Kita lalu bisa belajar dari pengalaman hidup kita, dan bekerja sama dengan orang lain. Apakah yang kiranya diperlukan untuk mewujudkan hidup dialogis semacam itu?  

Dialog dan Kesadaran

         Peter Senge di dalam bukunya The Fifth Discipline dan Chade Meng Tan di dalam bukunya Search Inside Yourself sepakat, bahwa dasar terpenting dari dialog adalah Mindfulness. Saya belum menemukan terjemahan yang tepat untuk kata ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, saya akan menerjemahkan kata tersebut sebagai kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran adalah kemampuan orang untuk memperhatikan segala hal yang terjadi di dalam dirinya dari saat ke saat, mulai dari rasa pegal, gejolak emosi, sampai dengan semua sensasi panca indera, tanpa penilaian dan analisis apapun.
          Ketika orang berbicara di dalam dialog, ia juga perlu untuk sadar akan hal-hal yang terjadi di dalam dirinya, serta kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ini membuatnya tetap tenang dan jernih, sehingga bisa menyampaikan maksudnya secara jelas dan sopan. Inilah yang disebut berbicara dengan kesadaran (mindful speaking). Tanpa pola ini, orang akan cenderung berbicara dengan emosi, dan menimbulkan kesalahpahaman dari pihak lain.
         Untuk bisa berbicara dengan penuh kesadaran, orang juga harus belajar mendengar dengan kesadaran. Orang perlu menyimak sepenuhnya pembicaraan orang lain, tanpa melakukan penilaian atau analisis apapun. Inilah yang disebut dengan mindful hearing. Jika tidak jelas, orang boleh bertanya kepada orang tersebut. Itu pun dilakukan dengan penuh kesadaran.
          Dasar dari mendengar dan berbicara dengan kesadaran adalah hidup yang berkesadaran (mindful living). Hidup yang berkesadaran berarti hidup yang penuh perhatian pada setiap gejolak di dalam tubuh yang terjadi saat ke saat. Ini berarti memperhatikan semua perasaan, emosi, pikiran dan sensasi panca indera yang muncul di sini dan saat ini. Semua perhatian ini dilakukan juga dengan tanpa penilaian dan analisis apapun.
Hidup yang Dialogis
Di dalam bukunya yang berjudul Theorie des kommunikativen Handelns, Jürgen Habermas, filsuf Jerman, menekankan pentingnya tindakan komunikatif sebagai unsur penyatu di dalam masyarakat majemuk. Tindakan komunikatif adalah sebentuk dialog dengan memperhatikan setidaknya tiga klaim dasar, yakni klaim kebenaran, klaim kejujuran dan klaim komprehensibilitas. Artinya, tiga klaim tersebut menjadi ukuran, ketika orang berbicara. Apakah pembicaraannya bisa dipertanggungjawabkan kebenaran, kejujuran dan komprehensibilitasnya?
Ini tentu berguna. Namun, tanpa mendengar dan berbicara dengan kesadaran, ketiga klaim tersebut akan sulit tercapai. Orang lalu terjebak pada kebohongan, kebingungan dan kesalahpahaman. Gabungan antara teori tindakan komunikatif Habermas dan teori kesadaran (mindfulness) dari Senge dan Tan kiranya cocok untuk menjadi dasar bagi hidup yang dialogis.
Jika kita melihat hidup kita sebagai sebentuk dialog, maka segalanya akan lebih mudah. Kita bisa melakukan refleksi mendalam atas pengalaman hidup kita dengan dialog dengan diri sendiri. Kita bisa mencapai kesalingpemahaman dengan orang lain yang berbeda cara berpikir dengan kita. Kita juga bisa hidup dalam harmoni dengan alam, karena keterbukaan dan kesadaran kita.
Dialog juga merupakan jantung hati dari kerja sama di dalam tim. Sebuah tim bisa bertumbuh bersama dalam kekompakan, jika ia memiliki pola dialog yang sehat di antara anggotanya. Visi bersama bisa ditegaskan dan kemudian diterapkan dalam hidup sehari-hari. Berbagai tantangan pun bisa dilampaui melalui kerja sama tim yang mantap.





0 komentar:

Posting Komentar