Kota dan
Ilusinya
Ketika orang meninggalkan tempat asalnya, dan
terpikat dengan gemerlap kota, ia seperti dicabut dari akar budayanya. Ia
seolah menunda semua ikatan emosional yang sebelumnya telah membentuk dia
menjadi manusia. Di kota besar, ia seperti bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang
manusia bersama dengan jutaan manusia lainnya yang mencari sesuap harta dan
nama besar.
Di kota besar, orang seolah tanpa wajah. Ia menjadi
anonim, satu di antara sekian juta manusia lainnya. Tanpa pengolahan yang
tepat, ciri anonim ini bisa melahirkan banyak masalah, mulai dari gangguan
kejiwaaan, sampai dengan kecemburuan sosial yang akut. Rasa iri muncul, ketika
diri terjebak kemiskinan, namun dipaksa melihat orang menggunakan mobil mewah,
sambil berbelanja di tempat-tempat mahal. Anonimitas dan kesenjangan sosial
ekstrem adalah bumbu utama dari konflik dan revolusi.
Keadaan ini juga bisa meningkatkan kriminalitas di
kota. Orang-orang tanpa pekerjaan dan keahlian apapun membanjiri kota. Tidak
semuanya beruntung. Yang tak beruntung mengalami godaan besar untuk melakukan
tindak kriminal, seperti mencuri, memeras, memperkosa dan bahkan membunuh.
Akar
dari semua ini adalah kebingungan akan jati diri. Di kota besar yang gemerlap,
orang mengalami krisis identitas. Ia tercabut dari akar budayanya, dan tidak
mampu menanamkan identitas barunya di kota besar yang gemerlap dan gigantis.
Jika ditambah dengan tekanan kemiskinan, perilaku merusak adalah buah yang tak
terhindarkan untuk dipetik.
Di tingkat yang lebih luas, pikatan kota juga
melahirkan banyak kesalahan tata kota. Pemukiman kumuh berkembang dimana-mana,
karena para pendatang yang terpikat tak berhasil menemukan perumahan yang
layak. Dari kekumuhan lahirlah banyak masalah kesehatan dan bencana, seperti
banjir yang tak lagi bisa dihindarkan. Kemacetan ekstrem, seperti yang terjadi
di Jakarta, adalah hasil dari pikatan ilusi kota Jakarta yang menawarkan
janji-janji yang tak selalu ditepatinya.
Akibat lainnya, desa menjadi terbengkalai. Padahal,
di desa, lapangan kerja juga tersedia. Namun, karena banyak orang terpikat oleh
rayuan ilusi kota, beragam pekerjaan itu tak terisi. Desa pun kekurangan tenaga
kerja, menurun produktivitasnya dan menjadi miskin. Ini seperti lingkaran setan
saja.
Jalan keluarnya ada dua. Yang pertama adalah, kita
tidak boleh terpikat oleh ilusi kota. Kita harus sungguh jernih melihat keadaan
yang ada. Pendek kata, kita harus punya prioritas yang berakar pada budaya kita
sendiri, sambil bersikap kritis pada segala pikatan yang kerap kali ilusif.
Pemerintah juga memainkan peranan penting disini.
Desa harus menjadi sasaran pembangunan dan investasi pemerintah, supaya bisa
menawarkan peluang yang besar bagi warganya. Pemerintah kota juga perlu
melakukan kontrol, supaya proses urbanisasi (perpindahan orang dari desa ke
kota) tidak ekstrem, dan kemudian melahirkan berbagai masalah. Permasalahan
pemukiman kumuh dan urbanisasi tanpa kontrol harus menjadi perhatian utama
pemerintah.
Hidup memang menawarkan banyak hal. Namun, sebagian
besar di antaranya adalah ilusi. Ilusi tersebut begitu memikat, sehingga tampak
sungguh nyata dan menggoda. Kita perlu secara kritis dan jernih membedakan
antara ilusi yang menipu, dan kenyataan sebenarnya. Tidak ada jalan lain.
Sumber
:
Oleh
Reza A.A Wattimena
0 komentar:
Posting Komentar