Harmonisasi
cinta guru dengan siswa
Cinta sulit dibayangkan kalau hanya
dijelaskan dengan kata-kata apalagi ditafsirkan. Rasa cinta tidak perlu
ditafsirkan maupun diuraikan menurut tata bahasa sastra tinggi karena akan
semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Cinta tidak bisa dipahami oleh
akal pikiran tetapi hanya bisa dirasakan oleh cinta itu sendiri. Mungkin kita
bisa memahami orang bercinta, tetapi tidak bisa memahami ukuran cinta yang
ingin diterapkan sebagai satu kepastian. Cinta bukanlah sesuatu yang pasti,
tidak bisa diukur apalagi diformulasikan dalam bentuk standar.
Cinta bukan sebuah fragmen
kehidupan. Cinta… kita tidak bisa menjelaskan dan mendefenisikannya. Untuk
dapat memahami cinta maka masuklah ke dalamnya, maka Anda akan menjadi cinta
itu sendiri. Cinta akan bercerita dengan bahasa tanpa huruf, tanpa suara,
bahkan dengan bunga, dengan rumah, dengan bahasa apa saja yang penting orang
tahu itu adalah bahasa cinta yang bisa dimengerti oleh semua makhluk.
Menurut KH. Toto Tasmara (2001) bahwa,
cinta adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa
dimengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang
paling halus. Perasaan cinta adalah perasaan ruhani, bukan perasaan indrawi
atau perasaan vitalis nafsiyah (perasaan indrawi berkaitan dengan saraf yang
merasaklan sakit, pahit, dll). Perasaan vitalis masih bersentuhan dengan saraf,
tetapi lebih menyeluruh, lebih merangkum seluruh citra rasa indrawi seperti
segar, bugar, lelah, atau bersemangat. Karena cinta berpangkal dari perasaan
ruhani maka ia bisa mengungguli perasaan indrawi dan vitalitas. Orang bisa
merasa lelah, lapar, dan sedih (indra vital), tetapi segera sirna seluruh
perasaan itu ketika cinta yang mendera rindu menampakkan dirinya, Dia bangkit
melupakan segala perasaan atau atribut lainnya. Inilah keajaiban cinta tidak
ada ukuran objektif untuk mengukur materi cinta.
Menurut Aristoteles dalam ilmu
psikologi bahwa”setiap individu punya unsur-unsur dalam kehidupan yang sering
disebut anima alias jiwa” . Ada tiga macam anima, yaitu anima vegetative, anima
sensitive, dan anima intelektiva. Cinta tergolong anima sensitive yang
mengurusi manusia untuk berpindah tempat dan punya perilaku instingtif, yaitu
perilaku yang bersumber pada naluri hati setiap manusia/makhluk dimuka bumi ini
(Widianti, 2007).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan bahwa
“Perumpamaan orang-orang muslim dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan, mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur.”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan bahwa
“Perumpamaan orang-orang muslim dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan, mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur.”
Ada tiga tipe dasar fondasi hubungan
yang akrab (intimate relationship) atas nama cinta. Tiga tipe dasar tersebut,
yaitu cinta persahabatan, cinta seksualitas, dan cinta kasih ( Papila, Olds,
Feldman dalam Widianti, 2007).
Cinta berada dalam segala aspek
kehidupan manusia bahkan tak ada yang terlepas dari cinta termasuk dalam dunia
pendidikan. Keberadaan cinta dalam dunia pendidikan dikarenakan yang menjadi
pelaku utama adalah guru dengan peserta didik. Keduanya terlibat dalam suatu
hubungan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain yakni kegiatan
belajar mengajar.
B. Perlunya Cinta Guru pada Siswa
Pembelajaran konvensional dalam kenyataan di sekolah-sekolah, proses
belajar mengajar lebih menekankan transfer of knowledge. Kebanyakan guru dan
juga orang tua sudah merasa puas kalau anak didik mendapatkan nilai baik pada
hasil ulangannya. Jadi yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana
perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara
serius. Jadi pengajaran terbatas pada aspek kognitif dan jarang sampai pada
afektif yang melibatkan emosional siswa.
Dalam hubungan ini, betapa banyak
kasus kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita yang mengindikasikan
bergesernya nilai-nilai moral. Kampus di rusak bahkan dibakar oleh mahasiswanya
sendiri. Yang menarik adalah pengalaman seorang guru dalam mobil angkutan umum
bersama siswanya. Ketika sang guru turun seketika siswa mengacungkan kepalan
tangannya kearah gurunya. Bahkan seorang guru dikeroyok oleh siswanya karena
nilai rapor jelek atau tidak naik kelas.
Kasus dan kejadian seperti contoh di
atas, sebagai petunjuk atau akibat dari “mengajar” yang hanya menekankan
transfer of knowledge, dan subjek hanya seolah-olah hanya membutuhkan
pengetahuan saja. Padahal tujuan esensial belajar adalah disamping mendapatkan
pengetahuan, juga untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan mental. Dengan
demikian, maka proses pembelajaran tidak hanya “mengajar” tetapi harus sekaligus
“mendidik”.
“Mendidik” diartikan secara komperehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berkepribadian. Untuk sampai pada tujuan ini maka mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir sikap yang baik.
“Mendidik” diartikan secara komperehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berkepribadian. Untuk sampai pada tujuan ini maka mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir sikap yang baik.
Guru dalam proses belajar mengajar
memiliki multiperan, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam
bentuk pengabdian. Apabila dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni
tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang
kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.
Dalam bidang kemanusiaan di sekolah guru bertugas sebagai pengganti orang tua .
Dalam bidang masyarakat guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya.
C. Implementasi Cinta Guru dalam
Kelas
Kegiatan belajar mengajar merupakan
peristiwa terjadinya komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun
antar siswa dengan siswa. Hal ini mengisyaratkan akan adanya hubungan yang
harus harmonis diantara mereka sehingga pembelajaran yang menyenangkan dan
melibatkan semua komponen belajar mengajar menjadi lebih efektif dan
menyenangkan.
Hubungan yang harmonis akan lahir
dari rasa kasih sayang yang tulus. Tugas guru sebagai pengganti orang tua
seyogyanya memiliki perasaan yang dalam serta mencurahkan cinta kasih dan
sayangnya. Peran guru sebagai orang tua kepada anaknya mengungkapan cinta
melalui pemahaman akan diri siswa, motivasi, bimbingan, dan didikan dengan
sepenuh hati.
Pengungkapan cinta menurut Erich
Fromm dalam Widianti (2007), bahwa terdapat empat unsure yang mempengaruhi
pengungkapan cinta yaitu: care (perhatian), responsibility (tanggungjawab),
respect (hormat), knowledge (pengetahuan). Sementara dalam Islam, ada tiga hal
yang menyebabkan timbulnya perasaan cinta dalam diri seseorang. Bila ketiga hal
ini menguat dan sempurna, cinta akan menjadi kuat dan mengakar. Ketiga hal
tersebut adalah: 1) sifat-sifat yang dimiliki seseorang membuat ia dicintai, 2)
perhatian terhadap sifat-sifat yang dimiliki seseorang, 3) keserasian antara
orang yang mencintai.
Belajar melibatkan semua aspek
kehidupan manusia-pikiran, perasaan dan bahasa tubuh di samping pengetahuan,
sikap dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa mendatang. Dengan demikian
karena belajar berurusan dengan orang secara keseluruhan dalam hal ini adalah
siswa, maka untuk memudahkan belajar guru harus melibatkan sisi emosional
siswa.
Dalam pembelajaran, memahami emosi
siswa akan dapat membuat pembelajaran lebih berarti dan permanent. Kunci
membangun ikatan emosional tersebut adalah dengan menciptakan kesenangan dalam
belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana
belajar.
Menumbuhkan sisi emosional siswa
dalam belajar akan sangat mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan
bahan-bahan yang dipelajari. Ilmuwan saraf, Dr. Josepph LeDoux, mengemukakan
bahwa amigdala merupakan pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam
menyimpan memori.
“…..perangsangan amigdala agaknya
lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori….
Karena itulah kita lebih mudah mengingat, misalnya tempat kencan pertama kita,
atau apa yang sedang kita lakukan saat mendengar berita pesawat ulangalik
Challenger meledak. Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula
pematrian dalam memori.” (LeDoux,1994 dalam DePorter 2007).
Untuk menarik keterlibatan siswa,
guru harus membangun hubungan, yaitu dengan jalan rasa simpati dan saling
pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju kehidupan-bergairah siswa,
membuka jalan memasuki dunia-baru mereka, mengetahui minat-kuat mereka, berbagi
kesuksesan-puncak mereka, dan berbicara dengan bahasa-hati mereka.
Membangun hubungan dan keamanan memerlukan niat, kasih sayang, saling pengertian yang semuanya lahir dari rasa cinta. Dalam hubungan yang sehat, kita akan menghormati dan menghargai orang yang kita cintai.
Membangun hubungan dan keamanan memerlukan niat, kasih sayang, saling pengertian yang semuanya lahir dari rasa cinta. Dalam hubungan yang sehat, kita akan menghormati dan menghargai orang yang kita cintai.
Untuk merealisasikan cinta guru
kepada siswa, maka guru akan berusaha memberikan yang terbaik kepada siswa
melalui berbagai metode pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran aktif, kreatif,
dan menyenangkan (PAKEM).
Penyajian pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam aktivitas penting, membantu mereka mangaitkan pelajaran
akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan
keduanya, para siswa melihat makna dalam setiap tugas-tugas mereka.
Pencarian makna merupakan hal
alamiah. Menurut psikolog, Viktor E. Frank,
”Kita dapat menemukan… makna di dalam hidup dengan tiga cara yang berbeda: (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melalui tindaka; (2) … dengan menghayati sesuatu, misalnya alam dan kebudayaan atau, … dengan menghadapi … manusia lain dalam keunikannya-dengan mencintainya …: [dan] (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan … Makna masih bisa terdapat di dalam penderitaan sekalipun” (Frankl dalam Johnson, E.B. 2007).
”Kita dapat menemukan… makna di dalam hidup dengan tiga cara yang berbeda: (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melalui tindaka; (2) … dengan menghayati sesuatu, misalnya alam dan kebudayaan atau, … dengan menghadapi … manusia lain dalam keunikannya-dengan mencintainya …: [dan] (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan … Makna masih bisa terdapat di dalam penderitaan sekalipun” (Frankl dalam Johnson, E.B. 2007).
Dengan demikian hubungan antara guru
dengan siswa yang dilandasi oleh cinta akan membuat pembelajaran lebih
menyenangkan sehingga siswa mampu mencapai hasil belajar yang lebih baik. Namun
tak hanya nilai bagus yang akan diperoleh, sikap, mental dan kepribadian yang
terpuji akan terbentuk. Seluruh aspek penilaian seperti kognitif, psikomotor
dan afektif akan tercapai.
Jadi perasaan cinta guru kepada
siswanya mutlak harus dimiliki oleh seorang guru yang dapat diwujudkan dengan
jalan menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa melalui pendekatan emosional
siswa.
Dengan cinta yang terpatri dalam
diri seorang guru maka dengan sendirinya akan memunculkan guru yang
professional sesuai dengan semboyan “Tut wuri handayani” yang menjadi slogan
dunia pendidikan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar