Masa Depan
Filsafat
Perbedaan
dan persamaan antara filsafat (philosophy) dan sains (science). Di sana tidak
ada garis pemisah yang jelas antara keduanya. Keduanya, pada dasarnya,
bersubjek universal, dan sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Walaupun di
antaranya tidak ada garis pemisah yang jelas, namun, ada beberapa perbedaan
yang penting dalam metode (method), gaya ( style ) dan presuposisi
(presupposition).
Masalah-masalah filsafat mempunyai
tiga fitur (feature) yang tidak dipunyai sains. Pertama, filsafat memperhatikan
pertanyaan-pertanyaan besar yang belum menemukan jawaban puas dan sistematik.
Kedua, pertanyaan-pertanyaan filsafat tertuju kepada apa yang saya namakan
‘kerangka pertanyaan’ (framework of questions); pertanyaan-pertanyaan filsafat
lebih tertuju pada kerangka besar yang fenomenal (large frameeworks of
phenomena), daripada membuat pertanyaan-pertanyaan individu yang spesifik. Dan
yang ketiga, pertanyaan-pertanyaan filsafat itu biasanya berkisar tentang
isu-isu yang terkonsep; pertanyaan filsafat sering mempertanyakan konsep kita
dan hubungan konsep itu dengan representasi dunia filsafat.
Perbedaan-perbedaan ini akan lebih
jelas apabila kita menemukan contoh-contoh yang aktual, misalanya: Pertanyaan
“Apa sebab dari kanker?” (“What is the cause of cancer?”) adalah pertanyaan
sains, bukan pertanyaan filsafat. Pertanyaan “Apa sifat dasar dari hubungan
sebab akibat?” (“What is the nature of causation?”) adalah pertanyaan filsafat
bukan pertanyaan sains. Sama halnya dengan pertanyaan “Berapa banyak jumlah
saraf transmisi disana?” (“How many neurotransmitters are there?”) adalah
pertanyaan sains dan bukan pertanyaan filsafat; tapi pertanyaan “Apa hubungan
antara pikiran dan tubuh?” (“What is the relationship between mind and body?”)
adalah masih termasuk bagian pertanyaan filsafat.
Kasus-kasus yang dipertanyakan
filsafat tidak bisa diselesaikan oleh aplikasi sederhana eksperimen atau metode
matematis, pertanyaan filsafat ada dalam kerangka besar, dan merangkai isu-isu
yang terkonsep. Kemajuan sains yang pokok terkadang memberikan sumbangsih
terhadap filsafat karena ini bisa merubah framework dan merevisi konsep.
Seperti teori relativitas Einstein, adalah contoh yang jelas di abad dua puluh
ini.
Karena filsafat melakukan rangkaian
dalam sebuah framework dan dengan pertanyaan yang kita tidak mengetahui
jawabannya secara sistematik, ini menyebabkan adanya hubungan yang unik dengan
sifat-sifat sains. Secepat kita bisa merevisi dan mencari formula pertanyaan
filsafat, pada akhirnya kita bisa menemukan cara untuk menjawabnya secara
sistematis, ini menghentikannya dari ranah filsafat dan menjadi ranah sains.
Banyak sekali terjadi dalam masalah-masalah kehidupan. Pada awalnya, masalah
bagaimana “inert” (ketidak bergairahan dalam hidup) adalah masalah filosofi,
terus kalau kita mencoba memahami mekanisme molekul biologi dalam kehidupan,
ini bukan lagi menjadi kajian-kajian filsafat, tapi sudah menjadi materi yang
dibangun fakta sains.
Ini sulit bagi kita untuk
mengemukakan intensitas filsafat dalam isu tertentu yang dulu diperdebatkan.
Poinnya adalah bahwa tidak banyak mekanis menang dan tidak banyak vitalis
kalah, tapi kita mempunyai konsep mekanisme biologi yang lebih kaya dalam
kehidupan yang turun menurun. Saya harap hal yang sama terjadi dalam masalah
‘kesadaran’ (conciousness) dan hubungannya dengan proses otak. Apa yang saya
tulis ini masih dianggap penting sebagai sebuah pertanyaan filsafat, tapi saya
percaya dengan kemajuan mutakhir dalam neurobiologi dan filsafat kritik atas
kategori-kategori tradisional dalam mental dan fisik, kita lebih dekat untuk
bisa menemukan cara sains yang sistematik untuk menjawab pertanyaan ini.
Seperti dalam kasus masalah kehidupan “problem of life”, ini berhenti dari
kajian filsafat dan akan menjadi kajian sains.
Karakter-karakter pertanyaan filsafat
ini, yang selalu dalam bingkainya, dan selalu tidak berakhir dalam riset
empiris yang sistematis, memunculkan pertanyaan mengapa sains selalu benar dan
filsafat selalu salah. Seberapa cepat kita menemukan jawaban yang sistematis
dari sebuah pertanyaan filosofis, dan mendapat jawaban yang disetujui
kebenarannya oleh semua investigasi yang kompeten di bidangnya, disana kita
menghentikannya dari ranah filsafat dan bergeser ke ranah sains. Perbedaan ini
bukan berarti bahwa dalam filsafat apapun terjadi, bukan berarti seseorang bisa
berkata apapun dan membuat spekulasi yang dia suka.
Secara kontras, atau lebih tepatnya
adalah karena kita tidak mempunyai bangunan empiris atau metode matematis untuk
investigasi masalah-masalah filsafat, maka kita harus lebih teliti dan cermat
dalam analisis filosofis.
Dari apa yang telah saya katakan,
ini kelihatannya, pada akhirnya filsafat akan berhenti eksis sebagai sebuah
disiplin ilmu jika kita telah menemukan bentuk sains yang sistematik dalam
menjawab semua pertanyaan filsafat. Ini adalah mimpi dari para filosof, tapi
Saya yakin, sejak masa Yunani kuno, kenyataanya kita belum sukses menemukan
menjawab bersih semua masalah-masalah filsafat.
Dalam ego generasi tertentu,
setidaknya kita telah menemukan sebahagian solusinya, melalui usaha-usaha yang
dilakukan oleh Wittgenstein, Austin dan filosof linguistik lainnya, metode yang
sistematis sebagai sebuah solusi pertanyaan-pertanyaan filsafat, bagi
sebahagian para filosof, ini bisa dipakai untuk menyelesaikan semua pertanyaan
dalam waktu tertentu. Austin, misalnya, meyakini di sana masih ada sekitar
ribuan pertanyaan filsafat yang belum mendapatkan jawaban, dan dengan riset
yang sistematis, dan kita bisa menyelesaikan semua pertanyaan itu. Saya yakin
semua orang percaya ini, hanya sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan
filsafat yang ditinggalkan oleh para filosof kuno, yang sudah disetujui dalam
bentuk solusi-solusi sains, matematika, dan linguistik.
0 komentar:
Posting Komentar