Rabu, 21 Desember 2016

Melampaui “Manusia”

Edit Posted by with No comments


Melampaui “Manusia”
            Mengapa saya menulis kata “manusia” dengan tanda kutip? Ini untuk menerangkan, bahwa “manusia” sebagai sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap ada sebagai bagian dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti misalnya berkomunikasi. Namun, sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah ilusi, yakni seolah ada, namun sebenarnya tak ada.
“Manusia”
Di balik kata “manusia”, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama, terutama di Eropa dan Timur Tengah. Manusia dilihat sebagai mahluk yang istimewa, lebih daripada mahluk hidup lainnya, sehingga punya hak untuk menguasai bumi. Tentu saja, yang merumuskan pandangan tersebut juga “manusia”. Ada konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus ditanggapi secara kritis.[1]  
Namun, banyak peradaban lainnya punya pendapat berbeda. Manusia dilihat sebagai bagian dari alam. Tidak lebih tinggi, atau lebih rendah. Ia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut sebagai semesta (Universum). Pandangan semacam ini kini semakin banyak diterima, terutama karena dianggap lebih sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan lebih “ramah lingkungan”.
Lebih dari itu, berbagai penelitian ilmiah terbaru menegaskan, bahwa “manusia” tidak memiliki inti di dalamnya. Tidak ada “tuan” atau “aku” yang menjadi penentu keputusan. Tidak ada subyek yang menjadi pengendali dari gerak pikiran dan tubuh. Konsep “jati diri” lebih merupakan ilusi untuk kepentingan sehari-hari, dan bukan kenyataan yang utuh dan kokoh.[2]
Pandangan ini ditopang oleh kebijaksanaan Timur yang sudah berkembang lebih dari 10.000 tahun. Di dalam pandangan ini, manusia adalah semata kumpulan dari berbagai unsur yang saling terhubung. Ketika salah satu unsur rusak, maka semua unsur yang lain juga akan terganggu. Apa saja unsur-unsur tersebut?
Unsur-unsur Pembentuk
Unsur paling dasar (lima unsur) adalah panca indera, yakni mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Dengan panca indera ini, “manusia” terhubung ke dunia. Namun, kelima panca indera ini amatlah rapuh. Sedikit gangguan, misalnya luka, akan mengaburkan fungsinya. Karena mereka begitu rapuh, informasi yang diperoleh dari kelima panca indera ini pun tidak boleh dipercaya begitu saja.
Unsur keenam adalah tubuh. Tubuh memiliki kesadarannya sendiri.[3] Jantung berdetak. Paru-paru bergerak. Darah mengalir. Semua tanpa diperintah, melainkan terjadi secara alamiah. Sel-sel seluruh tubuh manusia juga hancur dan memperbaharui dirinya sendiri setiap saat.
Unsur ketujuh adalah pikiran. Dalam arti ini, pikiran adalah unsur yang memungkinkan manusia merumuskan konsep-konsep. Misalnya konsep piring. Ada berbagai piring di dunia dengan macam-macam bentuk. Namun, kita bisa mengenali, bahwa itu adalah piring, walaupun warna dan bentuknya berbeda. Kita bisa melakukan ini, karena kita memiliki konsep piring di dalam pikiran kita.
Unsur ke delapan adalah penilaian. Setiap hari, kita membuat pilihan dalam hidup. Pilihan tersebut mengandaikan, bahwa kita bisa membuat pertimbangan tentang apa yang baik dan buruk, serta apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, demi alasan keamanan, atau moralitas. Kita menjauhi api, karena api berbahaya untuk kulit kita. Kita juga tidak membunuh orang, karena itu bertentangan dengan hukum dan moralitas, serta membuat orang lain menderita. Pertimbangan dan penilaian semacam itu menjadi mungkin, karena unsur ke delapan ini.
Unsur ke sembilan adalah ingatan. Ingatan memungkinkan kita untuk belajar. Kita tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Kita juga bisa mengumpulkan informasi, lalu menggunakannya untuk memenuhi kepentingan kita, dan mewariskannya ke generasi mendatang. Namun, ingatan juga bisa menjadi perusak, ketika ia tidak terkendali, terutama ingatan tentang berbagai peristiwa buruk yang pernah kita alami.
Semua unsur ini, ada sembilan jumlahnya, bersifat rapuh. Semuanya mudah berubah, dan mudah sekali terganggu, ketika ada luka atau trauma. Luka di kepala bisa merusak kesadaran konseptual, ingatan dan penilaian. Ketika orang mengira, bahwa kesembilan unsur ini sebagai kebenaran yang sesungguhnya, ia jatuh pada kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir lalu membuahkan penderitaan, baik bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain.[4]
Sunyata
Ada satu unsur lagi yang menjadi dasar sekaligus pencipta bagi semua unsur lainnya. Unsur ini, sebenarnya, tidak memiliki nama. Ia tidak memiliki bentuk (formless). Ia seperti ruang, yakni jernih, bersih, dan bisa menampung segalanya, tanpa merusak dirinya sendiri. Ia menjadi awal sekaligus akhir dari segala sesuatu, bukan hanya “manusia”.
Ada banyak pemikir yang berusaha menamainya. Ada yang menamainya sebagai “roh absolut” (absoluter Geist-Hegel). Ada yang menamainya sebagai jiwa, atau jiwa semesta (Atman). Ada yang menamainya sebagai kesadaran murni (reines Bewussstsein-Kant).[5] Semuanya hanyalah nama, dan tidak menentukan isi sejatinya, yang sebenarnya tanpa isi.
Ada satu nama yang, menurut saya, paling cocok menggambarkanya, yakni Sunyata. Kata ini berasal dari bahasa Pali yang berarti kekosongan-kepenuhan. Jika dipahami secara tepat, artinya adalah kepenuhan yang kosong (empty completeness) sekaligus kekosongan yang penuh (complete emptiness). Semua ini menunjuk pada unsur yang jernih, seperti ruang, yang menjadi dasar dari seluruh alam semesta.
Dari ruang muncul segala sesuatu. Segala sesuatu berada di dalam ruang. Namun, ruang itu sendiri tidak dapat dirusak oleh isinya. Ia tetap jernih dan bersih, walaupun mungkin diisi oleh hal-hal jahat di dalamnya. Ia tidak pernah dilahirkan, dan tidak pernah mati. Ia bersifat tak terbatas (Raumunendlichkeit).
Ia berada sebelum pikiran. Ia ada sebelum bahasa dan konsep. Justru, pikiran, bahasa dan konsep lahir darinya. Semua hal lahir darinya, dan kembali ke padanya. Tradisi-tradisi agama menyebutnya sebagai “Tuhan”.
Jalan Hidup
Lalu, apa dampaknya bagi hidup kita? Jika kita melekat pada sembilan unsur sebelumnya, kita jatuh pada penderitaan. Jika kita mengira kesembilan unsur ini sebagai kebenaran, kita jatuh pada kesalahpahaman. Namun, jika kita bisa kembali ke Sunyata, kita memasuki ranah kejernihan, kebebasan, keabadian dan kebijaksanaan.[6]
Kita melihat diri kita sebagai ruang. Saat demi saat, ruang tersebut mendengar, melihat, merasa, berpikir dan bergerak. Ruang tersebut berganti-ganti isinya. Terkadang ada pikiran atau emosi yang datang. Semuanya datang dan pergi. Namun, ruang tetap ada. Ia abadi. Tidak ada “aku”. Yang ada hanya ruang.
Kita lalu menemukan kebebasan, kedamaian, kejernihan serta kebijaksanaan yang sejati. Semua ada di dalam diri kita. Setelah terlepas dari penderitaan dan mencapai kebijaksanaan, kita lalu bisa menolong mahluk lain dengan kejernihan.
“Manusia” adalah sesuatu yang harus dilampaui. “Manusia” tidak punya inti. Ia semata hanya kumpulan dari berbagai unsur. Ketika unsur itu terurai, tidak ada inti di dalamnya. Tidak ada esensi.
Setelah terurai, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah Sunyata, yakni kekosongan yang penuh, dan kepenuhan yang kosong. Kembali ke titik ini, maka kejernihan dan kebijaksanaan akan datang secara alami. Melampaui “manusia” berarti kembali ke titik ini. Hanya dengan melampaui “manusia”, kita lalu bisa sungguh hidup dalam harmoni dengan seluruh alam semesta.
Kita lalu melihat diri kita di semua mahluk lain. Tidak ada perbedaan. Tidak ada dualitas. Tidak ada kawan-lawan. Pada satu titik, untuk menyatakan pemahaman ini, kita hanya bisa berteriak: KAAATZZZ!!!!
Langit biru. Awan putih. Garam asin. Gula manis. Semua apa adanya.[7]

0 komentar:

Posting Komentar