Melampaui “Manusia”
Mengapa saya menulis kata “manusia” dengan tanda kutip? Ini untuk menerangkan,
bahwa “manusia” sebagai sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap ada
sebagai bagian dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari,
seperti misalnya berkomunikasi. Namun, sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan
kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah ilusi, yakni seolah ada, namun sebenarnya
tak ada.
“Manusia”
Di balik
kata “manusia”, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama,
terutama di Eropa dan Timur Tengah. Manusia dilihat sebagai mahluk yang
istimewa, lebih daripada mahluk hidup lainnya, sehingga punya hak untuk menguasai
bumi. Tentu saja, yang merumuskan pandangan tersebut juga “manusia”. Ada
konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus ditanggapi secara kritis.[1]
Namun,
banyak peradaban lainnya punya pendapat berbeda. Manusia dilihat sebagai bagian
dari alam. Tidak lebih tinggi, atau lebih rendah. Ia adalah bagian dari
keseluruhan yang disebut sebagai semesta (Universum). Pandangan semacam
ini kini semakin banyak diterima, terutama karena dianggap lebih sesuai dengan
kenyataan yang sesungguhnya, dan lebih “ramah lingkungan”.
Lebih dari
itu, berbagai penelitian ilmiah terbaru menegaskan, bahwa “manusia” tidak
memiliki inti di dalamnya. Tidak ada “tuan” atau “aku” yang menjadi penentu
keputusan. Tidak ada subyek yang menjadi pengendali dari gerak pikiran dan
tubuh. Konsep “jati diri” lebih merupakan ilusi untuk kepentingan sehari-hari,
dan bukan kenyataan yang utuh dan kokoh.[2]
Pandangan
ini ditopang oleh kebijaksanaan Timur yang sudah berkembang lebih dari 10.000
tahun. Di dalam pandangan ini, manusia adalah semata kumpulan dari berbagai
unsur yang saling terhubung. Ketika salah satu unsur rusak, maka semua unsur
yang lain juga akan terganggu. Apa saja unsur-unsur tersebut?
Unsur-unsur
Pembentuk
Unsur paling
dasar (lima unsur) adalah panca indera, yakni mata, telinga, hidung, kulit dan
lidah. Dengan panca indera ini, “manusia” terhubung ke dunia. Namun, kelima
panca indera ini amatlah rapuh. Sedikit gangguan, misalnya luka, akan
mengaburkan fungsinya. Karena mereka begitu rapuh, informasi yang diperoleh
dari kelima panca indera ini pun tidak boleh dipercaya begitu saja.
Unsur keenam
adalah tubuh. Tubuh memiliki kesadarannya sendiri.[3]
Jantung berdetak. Paru-paru bergerak. Darah mengalir. Semua tanpa diperintah,
melainkan terjadi secara alamiah. Sel-sel seluruh tubuh manusia juga hancur dan
memperbaharui dirinya sendiri setiap saat.
Unsur
ketujuh adalah pikiran. Dalam arti ini, pikiran adalah unsur yang memungkinkan
manusia merumuskan konsep-konsep. Misalnya konsep piring. Ada berbagai piring
di dunia dengan macam-macam bentuk. Namun, kita bisa mengenali, bahwa itu
adalah piring, walaupun warna dan bentuknya berbeda. Kita bisa melakukan ini,
karena kita memiliki konsep piring di dalam pikiran kita.
Unsur ke
delapan adalah penilaian. Setiap hari, kita membuat pilihan dalam hidup.
Pilihan tersebut mengandaikan, bahwa kita bisa membuat pertimbangan tentang apa
yang baik dan buruk, serta apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, demi
alasan keamanan, atau moralitas. Kita menjauhi api, karena api berbahaya untuk
kulit kita. Kita juga tidak membunuh orang, karena itu bertentangan dengan
hukum dan moralitas, serta membuat orang lain menderita. Pertimbangan dan
penilaian semacam itu menjadi mungkin, karena unsur ke delapan ini.
Unsur ke
sembilan adalah ingatan. Ingatan memungkinkan kita untuk belajar. Kita tidak
lagi mengulang kesalahan yang sama. Kita juga bisa mengumpulkan informasi, lalu
menggunakannya untuk memenuhi kepentingan kita, dan mewariskannya ke generasi
mendatang. Namun, ingatan juga bisa menjadi perusak, ketika ia tidak terkendali,
terutama ingatan tentang berbagai peristiwa buruk yang pernah kita alami.
Semua unsur
ini, ada sembilan jumlahnya, bersifat rapuh. Semuanya mudah berubah, dan mudah
sekali terganggu, ketika ada luka atau trauma. Luka di kepala bisa merusak
kesadaran konseptual, ingatan dan penilaian. Ketika orang mengira, bahwa
kesembilan unsur ini sebagai kebenaran yang sesungguhnya, ia jatuh pada
kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir lalu membuahkan penderitaan, baik bagi
diri sendiri, maupun bagi orang lain.[4]
Sunyata
Ada satu
unsur lagi yang menjadi dasar sekaligus pencipta bagi semua unsur lainnya.
Unsur ini, sebenarnya, tidak memiliki nama. Ia tidak memiliki bentuk (formless).
Ia seperti ruang, yakni jernih, bersih, dan bisa menampung segalanya, tanpa
merusak dirinya sendiri. Ia menjadi awal sekaligus akhir dari segala sesuatu,
bukan hanya “manusia”.
Ada banyak
pemikir yang berusaha menamainya. Ada yang menamainya sebagai “roh absolut” (absoluter
Geist-Hegel). Ada yang menamainya sebagai jiwa, atau jiwa semesta (Atman).
Ada yang menamainya sebagai kesadaran murni (reines Bewussstsein-Kant).[5]
Semuanya hanyalah nama, dan tidak menentukan isi sejatinya, yang sebenarnya
tanpa isi.
Ada satu
nama yang, menurut saya, paling cocok menggambarkanya, yakni Sunyata.
Kata ini berasal dari bahasa Pali yang berarti kekosongan-kepenuhan. Jika
dipahami secara tepat, artinya adalah kepenuhan yang kosong (empty
completeness) sekaligus kekosongan yang penuh (complete emptiness).
Semua ini menunjuk pada unsur yang jernih, seperti ruang, yang menjadi dasar
dari seluruh alam semesta.
Dari ruang
muncul segala sesuatu. Segala sesuatu berada di dalam ruang. Namun, ruang itu
sendiri tidak dapat dirusak oleh isinya. Ia tetap jernih dan bersih, walaupun
mungkin diisi oleh hal-hal jahat di dalamnya. Ia tidak pernah dilahirkan, dan
tidak pernah mati. Ia bersifat tak terbatas (Raumunendlichkeit).
Ia berada
sebelum pikiran. Ia ada sebelum bahasa dan konsep. Justru, pikiran, bahasa dan
konsep lahir darinya. Semua hal lahir darinya, dan kembali ke padanya.
Tradisi-tradisi agama menyebutnya sebagai “Tuhan”.
Jalan Hidup
Lalu, apa
dampaknya bagi hidup kita? Jika kita melekat pada sembilan unsur sebelumnya,
kita jatuh pada penderitaan. Jika kita mengira kesembilan unsur ini sebagai
kebenaran, kita jatuh pada kesalahpahaman. Namun, jika kita bisa kembali ke Sunyata,
kita memasuki ranah kejernihan, kebebasan, keabadian dan kebijaksanaan.[6]
Kita melihat
diri kita sebagai ruang. Saat demi saat, ruang tersebut mendengar, melihat,
merasa, berpikir dan bergerak. Ruang tersebut berganti-ganti isinya. Terkadang
ada pikiran atau emosi yang datang. Semuanya datang dan pergi. Namun, ruang
tetap ada. Ia abadi. Tidak ada “aku”. Yang ada hanya ruang.
Kita lalu
menemukan kebebasan, kedamaian, kejernihan serta kebijaksanaan yang sejati.
Semua ada di dalam diri kita. Setelah terlepas dari penderitaan dan mencapai
kebijaksanaan, kita lalu bisa menolong mahluk lain dengan kejernihan.
“Manusia”
adalah sesuatu yang harus dilampaui. “Manusia” tidak punya inti. Ia semata
hanya kumpulan dari berbagai unsur. Ketika unsur itu terurai, tidak ada inti di
dalamnya. Tidak ada esensi.
Setelah
terurai, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah Sunyata, yakni kekosongan
yang penuh, dan kepenuhan yang kosong. Kembali ke titik ini, maka kejernihan
dan kebijaksanaan akan datang secara alami. Melampaui “manusia” berarti kembali
ke titik ini. Hanya dengan melampaui “manusia”, kita lalu bisa sungguh hidup
dalam harmoni dengan seluruh alam semesta.
Kita lalu
melihat diri kita di semua mahluk lain. Tidak ada perbedaan. Tidak ada
dualitas. Tidak ada kawan-lawan. Pada satu titik, untuk menyatakan pemahaman
ini, kita hanya bisa berteriak: KAAATZZZ!!!!
Langit biru.
Awan putih. Garam asin. Gula manis. Semua apa adanya.[7]
0 komentar:
Posting Komentar