Dasar Bagi Kebaikan
Mengapa
orang berbuat baik? Pertanyaan ini sudah lama menganggu saya. Saya melihat
seorang pemuda membantu orang buta menyeberang jalan. Saya melihat anak muda
yang lain membantu ibu tua membawa belanjaan. Saya juga melihat sepasang
kekasih yang begitu mesra bergandengan tangan, siap untuk saling membahagiakan.
Kebaikan
adalah harapan universal manusia. Setiap orang, jauh di dalam hatinya, ingin
menjadi orang baik. Mereka ingin melakukan kebaikan, sedapat mungkin setiap
saat dalam hidupnya. Dorongan untuk menjadi baik sudah selalu tertanam di dalam
diri manusia.
Tradisi,
Diri dan Hati Nurani
Sedari
kecil, kita diajarkan juga untuk menjadi baik. Tentu saja, pemahaman tentang
apa yang baik terkait dengan moralitas berbeda-beda. Agama dan budaya memainkan
peranan besar dalam hal ini. Namun, ini semua tidak menjawab, mengapa orang
menemukan dorongan untuk menjadi baik di dalam hatinya.
Berbagai
penelitian ilmiah menunjukkan, bahwa menjadi baik adalah bagian dari proses
pelestarian diri manusia (self-preservation). Orang yang baik hati dan
tindakannya cenderung lebih sukses dan bahagia dalam hidupnya. Mereka disukai
keluarga dan teman-temannya. Ketika krisis melanda, mereka bisa mendapatkan
banyak dukungan dari berbagai pihak.
Di samping
pertimbangan untung rugi semacam ini, ada orang yang berbuat baik, karena
dorongan hatinya (conscience). Ia merasa, jika berbuat baik, ia
mengikuti panggilan hidup terdalamnya. Hati nuraninya memanggilnya untuk terus
berbuat baik saat demi saat di dalam hidupnya. Pertimbangannya tidak lagi
untung rugi demi pelestarian dirinya, melainkan dorongan hati nurani sebagai
keutamaan (virtue).
Immanuel
Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman, juga menegaskan, bahwa moralitas, yakni
pemahaman tentang baik dan buruk, sudah selalu tertanam di dalam akal budi kita
sebagai manusia (Vernunft). Menjadi baik itu rasional, karena sesuai
dengan kodrat alamiah akal budi kita. Hukum moral sudah selalu tertanam di
dalam sanubari manusia, dan mewujud secara konkret di dalam kewajiban (Pflicht)
hidup sehari-hari yang dijalankan dengan setia.
Gagal
Lepas dari
keempat hal ini, banyak orang tetap tidak mampu mencapai kebaikan, walaupun
mereka menginginkannya. Harapan mereka tidak sejalan dengan tindakan nyata
mereka. Niat baik tidak dibarengi dengan kerja nyata untuk mencapai kebaikan.
Sebaliknya yang terjadi, yakni orang yang dikira baik ternyata menjadi
koruptor, atau menjadi pelaku kejahatan biadab lainnya.
Mengapa ini
terjadi? Mengapa niat baik kerap kali menjadi buah mimpi belaka, tanpa pijakan
kenyataan? Saya berpendapat, bahwa ini terjadi, karena empat alasan di atas,
yakni tradisi, pelestarian diri, akal budi dan hati nurani, tidak mencukupi
untuk menjadi dasar bagi kebaikan. Keempatnya berpijak pada kesalahan berpikir
dan ketidaktahuan.
Jika
keempatnya tidak cukup, lalu apa dasar yang kokoh bagi kebaikan? Saya
berpendapat, dasar paling kokoh dari kebaikan adalah kesadaran sepenuhnya akan
jati diri sejati kita (awareness of our true self). Artinya, kita paham,
siapa kita sebenarnya, sebelum segala identitas sosial ditempelkan pada kita.
Jati Diri
Sejati
Kesadaran
ini tidak dapat berhenti pada tingkat intelektual saja. Konsep, pengetahuan
serta kepercayaan, sebagaimana ditawarkan oleh agama, filsafat dan ilmu
pengetahuan modern, sama sekali tidak mencukupi. Kesadaran mendalam atas jati
diri sejati kita adalah puncak kebijaksanaan, sebagaimana menjadi cita-cita
dari berbagai orang besar sepanjang sejarah manusia.
Ini hanya
dapat dicapai, jika orang bisa hidup disini dan saat ini. Masa lalu ditunda
sebagai ingatan semata. Masa depan dilihat sebagai harapan belaka. Ketika tubuh
dan pikiran bisa sepenuhnya disini dan saat ini, semua identitas akan tertunda,
dan orang akan bisa menyadari jati diri sejatinya. Kesadaran akan keberadaan
tubuh (body awareness) memainkan peranan amat penting disini.
Keadaan
pikiran (state of mind) semacam ini lalu dipertahankan. Orang bekerja
dan hidup dengan keadaan pikiran ini. Kebaikan lalu menemukan dasar yang kokoh.
Ia tidak lagi dipengaruhi oleh tekanan tradisi, motif keuntungan diri ataupun
kerapuhan hati nurani.
Bagaimana
jika emosi kuat, seperti marah atau sedih, datang melanda? Caranya sederhana:
kita kembali ke kesadaran akan tubuh kita. Segala emosi disadari, diberi nama
dan dibawa ke dalam kesadaran akan tubuh yang kita punya. Dengan cara ini,
perlahan namun pasti, emosi akan melebur dengan kesadaran yang merupakan jati
diri sejati kita.
Kebaikan
akan muncul secara alami. Saat demi saat, kita menemukan kedamaian dalam diri
kita. Emosi dan pikiran boleh datang. Namun, kita selalu bisa membawanya ke
dalam kesadaran tubuh kita. Disini, kebaikan menemukan dasarnya yang paling
kokoh. Tak percaya? Silahkan dicoba.
0 komentar:
Posting Komentar